BIDIKMISI JALAN MENGGAPAI ASAKU
Senja
tak selamanya berwarna jingga, malam tak selamanya gelap gulita, bahkan pagi
pun tak selamanya dengan sang surya yang cerah bersinar. Akan ada saat dimana
senja itu berubah suram, akan ada saat dimana sang malam benderang dengan
cahaya sejuta bintang dan sang purnama yang siap berbagi cahaya redupnya,
bahkan akan ada pagi yang dirundung kabut tebal. Dan aku sangat yakin begitu
jua yang akan ku alami dalam hidup ini. Disetiap tangisan selalu ada tawa, di
setiap kepedihan selalu ada kesejukan yang dapat menghilangkannya, di setiap
luka akan ada yang mengobati, disetiap usaha akan ada hasilnya, di setiap do’a
akan ada jawabannya, dan disetiap mimpi akan ada sesuatu yang terwujud.
Yah, mimpi,.. terlahir dalam
keluarga yang serba pas-pasan. Yang hanya mengandalkan seorang ayah yang selalu
mengais rezeki dijalan yang berdebu, melintasi jalan raya yang bahkan tak
menentu langkah dan roda-roda kehidupan akan membawa kemana. Semangat ayah yang
selalu menjadi cambuk untuk terus melangkah, peluh Beliau di bawah teriknya
mentari, tubuh Beliau yang menggigil dengan hujan yang begitu kejam mengguyur
tubuh rentanya, tak pelak membuat hatiku hancur saat menyaksikan Ia menggigil,
namun masih bisa tersenyum di hadapan anak - anaknya. Seorang Bunda yang bahkan begitu luar bisa,
yang dengan keikhlasannya selalu menjadi tongkat buat anak-anaknya tetap
berdiri, meski terkadang dengan ketegasan yang tak pelak membuat kami merasa
harus mengikuti keinginan beliau. Dan itu wajar, beliau tak sempat menuntaskan
pendidikan, jangankan bangku kuliah bangku SD pun tak dapat beliau nikmati. Namun Beliau
selalu menggantungkan mimpi pada kami anak-anaknya, agar dapat mengenyam
pendidikan setinggi mungkin. Dengan segala keterbatasan Beliau berusaha membantu
Ayah untuk bekerja, lagi-lagi jiwaku hancur. Sebagai anak aku merasa hanya
menambah beban dengan semua ini, ada rasa tak ikhlas bahkan rasa bersalah tiap
kali melihat Beliau begitu letih. Karena aku tahu, beliau rentan untuk sakit
bila terlampau letih. Dan semua itu ku dapatkan hikmahnya, beliau mau
mendengarkan kami anak-anaknya agar berhenti bekerja.
Sedang kakak ku yang paling besar,
harus menghentikan langkahnya hanya sampai di titik S2 (SD, SMP), mas Arif
menghentikan langkahnya karena sebuah keinginan yang begitu tulus, ia berhenti
dan memilih untuk membantu orangtua kami bekerja. Dengan harapan bisa
meringankan biaya sekolah ku, dan kakak perempuan serta si kecil. Hanya bermodal ijazah SMP
apa yang dapat ia lakukan, bergelut dengan ombak dan pantai adalah pilihan yang
ia ambil. Berjuang melawan ganasnya gelombang, malam jadi siang buatnya, dan
siangpun tak berarti malam. Dan ia sukses membantu biaya sekolah kakak perempuan hingga sma sedang
aku masih duduk di bangku smp. Baginya gelombang bukan sesuatu yang menakutkan
namun gelombang adalah sahabat, lautan yang begitu luas adalah ladang nafkah.
Namun hati bunda selalu khawatir membayangkan ganasnya ombak yang menerjang.
Dan semua perjuangan keluargaku takkan ku siakan begitu saja, kondisi yang begitu
nyata ‘bermain’ di depan mataku. Membuatku sadar menuntut takkan memberi solusi malah semakin akan menjadi
beban untuk keluarga, terlebih saat musim tak bersahabat. Meski begitu aku
takkan tinggal diam membiarkan mimpiku terhenti.
Semangat menuntut ilmu dan tekadku
seolah di uji kebenarannya oleh Sang Pencipta. Saat SMP jarak rumah dengan SMPN
13 MATARAM cukup jauh, dan saat berada di kelas 8 kondisi ekonomi tak begitu
baik. Ditambah dengan kendaraan yang belum ada. Mengharuskanku mempertahankan
komitmen yang selama ini ku ikrarkan. Dan semua itu ku jalani selama kurang
lebih 1,5 tahun sekolah ku tempuh dengan berjalan kaki. Tapi keadaan ini tak
lantas membuatku berkecil hati, justru sebaliknya membuatku semakin bersemangat
untuk belajar. Dan aku berharap dapat melanjutkan sekolah ke SMK dengan harapan
begitu lulus SMK aku dapat bekerja dan kuliah dengan biaya sendiri. Namun
lagi-lagi Allah memberi jalan yang jauh lebih indah, dengan alasan biaya semua
itu berlalu begitu saja. Dan SMA HANGTUAH menjadi muara dari sebuah mimpi baru,
jujur dengan semua yang ku
usahakan saat smp aku merasa kurang puas dengan kenyataan
bahwa aku harus sekolah ditempat yang sama dengan kakak perempuanku. Sekolah swasta
sama sekali tak ada dalam denah mimpiku semasa SMP. Namun lagi-lagi Allah
mengambil peran untuk menyadarkan hamba-NYA yang tak pandai bersyukur, dan aku
sadar disinilah kesempatan emas itu. Setidaknya dengan aku bersekolah di SMA ini
membuka lebih besar kesempatan untuk memperoleh beasiswa, hal ini bisa meringankan
beban orangtua. Terlebih saat ayah memberi nasihat, “ji, kamu tahu mutiara?
Dimanapun mutiara itu diletakkan. Di tempat yang istimewa atau dilumpur sekalipun namanya tetap mutiara. Begitu juga kamu.”
Sederhana, namun kata-kata beliau bisa menyemangatiku.
Terlalu banyak mengulang kisah. Dan
mimpi-mimpi baru mulai ku tata, mimpi menjadi seorang dokter adalah mimpi yang
tak pernah dapat ku hapuskan dari relungku, bahkan hingga detik ini. Namun
lagi-lagi aku tak ingin egois, aku masih memiliki seorang adik laki-laki yang
juga berhak menikmati pendidikan yang tinggi bahkan lebih tinggi dari kakaknya
ini. Matematika adalah sesuatu yang aku cintai, dan selalu ada kenikmatan saat
berhadapan dengan mata pelajaran ini, mungkin ini juga yang membuatku bisa
begitu dekat dengan guru-guru yang mengajar matematika. Bunda Sri adalah
seorang guru sekaligus seorang ibu buatku di sekolah, beliau selalu memiliki
banyak nasihat bijak untukku. Mendekati ujian, aku banyak mencari informasi
mengenai penerimaan mahasiswa baru di universitas negeri. Seperti biasa tiap
ada kesempatan kami selalu mengobrol, “nak, setelah lulus SMA mau kemana?”
entah jawaban darimana ini, entah aku sadar atau tidak spontan aku menjawab
“kuliah bu, kan mau nerusin ibu.... tapi bu itu juga kalo ada biaya.” Dan
jawaban terakhirku membuat beliau begitu marah, “inggat nak, Allah Maha Kaya,
yakin akan ada jalan.” Gak ku sangka jawaban instanku membuat beliau meneteskan
airmata. Dukungan gak hanya aku dapatkan dari Beliau, guru-guru yang lainpun
mendukung, bahkan beberapa guru sempat bicara dengan bunda bahwa aku harus
melanjutkan kuliah. Dan hal ini membuatku semakin bersemangat. Lebih-lebih saat
seorang teman SMP ku ukhti Fitri (Bq. Nurul Fitriani) yang mendapatkan BIDIKMISI
memberikan informasi kepadaku. Ya inilah awal perkenalan ku dengan si pemutus
mata rantai kemiskinan. Ukhti Fitri memberi informasi selengkap mungkin dan
segera ku sampaikan pada guru di SMA yang memang bergelut di bidang pengurusan
masalah ini.
Dan pertanyaanku memulai sebuah
langkah, ternyata undangan untuk mengikuti SNMPTN sudah ada disekolah namun
belum sempat di beritakan kepada kami, dan sekolah sama sekali belum mengetahui
masalah BIDIKMISI. Akhirnya ku beranikan diri mendatangi bagian akademik
rektorat bersama ke 5 sahabatku. Dan hal ini cukup nekad karena hanya dengan bermodalkan undangan
SNMPTN aku memberanikan diri untuk kesana, awal memasuki gedung rektorat
terlintas begitu saja dalam benakku “suatu saat ditempat ini juga aku akan
menuntut ilmu.” Dan semua do’aku terjawab, meski dengan sederet perjalananan
panjang. Kembali menemui wakasek kesiswaan dan bicara pada beliau mengenai
BIDIKMISI dan meminta rekomendasi dari sekolah, ternyata jawaban beliau masih
sama. “SNMPTN bisa diuruskan dari sekolah, tapi untuk BIDIKMISI sekolah belum
berani karena ini pertanggungjawabannya sampai seterusnya.” Dengan bermodalkan
nekad, aku mengikuti SNMPTN yah hanya sekedar mengadu nasib saja seandainya pun
lolos belum tentu aku dapat melanjutkan kuliah. Dan Allah membawa berita
Gembira. Aku dinyatakan tidak lolos hehe.
Penantian ijazah cukup lama, dan aku
bukan tipe orang yang suka berdiam diri tanpa aktivitas, aku sempat bekerja
dengan harapan seandainya aku dapat kuliah tahun ini aku bisa membantu sedikit
dari biaya kuliahku. 2 bulan bekerja disebuah mini market kecil lumayan
memberikan pengalaman, dan tentunya aku tetap berusaha untuk bisa melanjutkan
kuliah, sebagian dari gaji pertama ku gunakan untuk memberi pin ujian SBMPTN
dan ternyata aku salah pilih. Tes yang kupilih adalah tes IPC, sedangkan aku
gak pernah menyentuh pelajaran IPS sudah 2 tahun ini. Dan ini adalah isyarat
bahwa aku akan kembali gagal. Ada kekecewaan setelah ujian ku laksanakan, tapi
disisi lain justru aku berharap bahwa aku tidak lolos dalam tes ini. Bukan
karena aku putus asa dengan mimpiku, namun kondisi yang membuat hati kecilku
berharap demikian.
2 minggu sebelum pengumuman, ayah
jatuh sakit. Ginjal beliau kambuh, yang membuat beliau tak bisa bergerak bebas.
Salah satu ginjal beliau membengkak. Dan aku tahu itu sangat sakit. Bahkan
sempat aku berdo’a, seandainya usiaku dapat kuberikan untuk mengurangi sakit
yang beliau rasakan, insyaAllah aku ikhlas. Seandainya aku lulus, aku akan
membawa kabar gembira untuk keluargaku namun disisi lain aku akan menjatuhkan
sebuah batu besar tepat dipunggung ayahku. Namun seandainya aku tak lulus, akan
ada kecewa dan itu juga berarti aku dapat tetap bekerja. Dan Allah berpihak
padaku, lagi-lagi aku dinyatakan tidak lolos. Dan saat itu aku sudah
membulatkan tekad untuk tetap bekerja, kuliah bisa tahun depan meski giliran
hatiku yang di tikam benda tajam.
Segala Puji bagi Allah, yang begitu
sempurna dengan segala rencana untuk setiap hambaNya. Allah mengirimkan
pertolongan-NYA melalui teman Ayah, sebut saja paman Saeful. Beliau yang memberikan
dukungan moral kepada Ayah untuk tetap memaksaku mengikuti tes terakhir ini.
Dan aku sama sekali tak kuasa menolak, karena jujur mimpi itu begitu besar.
Meski aku sudah memberikan syarat kepada ayah, jika ternyata aku kembali gak
lulus berarti ini jawaban dari Allah, bahwa aku harus hijrah. Tak mengiyakan
tak juga menolak, ya Ayah hanya diam mendengar jawabanku. Hari itu juga aku diminta untuk berhenti
bekerja dan mengurus semua administrasi peserta tes mandiri. Setelah semua
proses usai dijalani, tiba saat pengumuman. Lagi-lagi ketidaksiapan menelan
kecewa menghampiriku. Tapi entah dari mana keyakinan itu, aku begitu yakin bahwa
inilah jalanku. Apapun hasilnya aku yakin Allah telah membukakan pintu yang
terbaik buatku. Dan Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, pada prodi yang aku
cintai “pendidikan matematika”.
Namun begitu, beban yang lain kembali muncul, karena aku lulus di kelas ekstensi
otomatis biaya yang harus aku bayar berkali lipat dengan mahasiswa reguler, Rp.
4.250.000,- tanpa angsuran-. Astaga mau dapat uang dari mana, dan ternyata janji Allah berwujud
nyata, tak hanya memberikan jalan Allah pun telah menyiapkan pintu yang begitu
indah buatku. Saat pembayaran biaya kuliah, awal pertemuanku dengan pembina
BIDIKMISI Bapak Farouk, beliau menyarankanku untuk mendaftar beasiswa bidikmisi.
Hari itu juga aku mengurus semua persyaratan mendaftar Bidikmisi, dan segalanya seolah dimudahkan.
Besok adalah hari terakhir pendaftaran, dan semua berkas itu telah siap.
Aku tak berharap banyak, karena tak
hanya 1000 pendaftar tapi lebih dari 2000 pendaftar sedang yang dibutuhkan
hanya 750 mahasiswa. Beberapa bulan, aktivitas perkuliahan membuatku cukup
melupakan masalah beasiswa yang tak kunjung mendapat titik terang. Ketidak
sengajaan mengikuti pertemuan mahasiswa bidikmisi berhasil memberikan manset
berbeda, yah ini takkan menjadi hal terakhir mengikuti forum BM, tapi justru
ini sebagai pemantasan untuk dapat mengikuti forum-forum seterusnya. 2 pekan setelah pertemuan
itu, ketika aku masih dirumah. Seorang kakak mengirim sms yang berisi ucapan
selamat, aku bingung apa maksud sms itu. Tapi semua ke bingunganku langsung
mendapat jawaban, ketika aku tiba di kampus. Biasanya sangat jarang aku
melewati gedung A, tapi hari ini seolah ada sesuatu yang membuatku ingin melangkahkan
kaki pada gedung itu. Dan ternyata ada selembaran baru yang tertempel di depan
kaca bagian ke mahasiswaan, penasaran mengetahui pengumuman itu. Tak sengaja ku
temukan sepucuk namaku diantara sederet nama-nama yang tertera, “loh kok ada
namaku?”. Setelah itu baru ku cari pengumuman tentang apa ini, ternyata itu
adalah pengumuman penerima beasiswa BIDIKMISI, Alhamdulillah,... tak
henti-hentinya aku bersyukur. Rasanya aku ingin segera pulang melakukan sujud
syukur dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku.
Hadir dalam keluarga BIDIKMISI bukanlah
ssesuatu yang diharuskan, namun menghadirkan diri dalam bagiannya adalah hak
bagi seluruh penerima beasiswa BIDIKMISI. Karena dalam forum ini tak hanya
mendapatkan informasi terkait dana tetapi lebih dari itu. Bersama dalam forum,
memberikan kesempatan untuk duduk bersanding dengan banyak orang-orang hebat,
dan mendapatkan lebih banyak saudara yang dapat menginspirasi untuk terus
bergerak.
Dan pilihan ini tak
salah, menghadirkan diri dalam denah kegiatan forum yang luar biasa memberi
kepuasan. Membuatku merasakan sesuatu yang berbeda, melangkah dari rumah untuk
menebar informasi tentang mata rantai pemutus kemiskinan seolah memberi
kepuasan tersendiri dan aku sadar, bukan hanya aku dan kami yang berhak
merasakan indahnya bersama dalam keluarga BIDIKMISI tapi, mereka adik-adik di
luar sana juga berhak menikmati hal yang sama. Dan berbagi itu indah. Banyak
hal yang ku dapatkan selama bergelut di dalam forum. Masih ada 3 tahun
pengabdian untuk mengukir mimpi bersama BIDIKMISI, dan menuntut hak bukanlah
sebuah kebijakkan. Namun bagaimana pelunasan terhadap kewajiban agar hak
tersebut menjadi jauh lebih indah. Mimpi baru kembali terukir dalam lembaran
hari, “jika saat ini, aku melihat langit dari tanah yang ku pijak. Maka suatu
saat, aku akan melihat pijakan itu dari angkasa”, sebuah motivasi yang
ditularkan kepadaku. Simple tapi dari mimpi sesimple itu telah membawa banya
generasi mengepakkan sayapnya, sesuatu yang dulu terasa imposible kini menjadi
I’m possible. Yang jelas Allah takkan menyia-nyiakan hamba-NYA yang
bersungguh-sungguh. MAN JADDA WA JADDA.
Melangkah takkan
berarti meninggalkan langkah kecil yang membuatmu melangkah. Namun melangkah
lebih jauh akan mengukir sebuah sejarah baru bagi hidupmu dan dunia. Ciptakan
generasi EMAS Indonesia bersama BIDIKMISI. Karena BIDIKMISI hadir untuk aku,
anda, dan kita semua agar mampu “MENGGAPAI MIMPI MEMUTUS MATA RANTAI
KEMISKINAN”. Saat ini, Kemiskinan bukan lagi momok yang menakutkan untuk
menggapai mimpi, kemiskinan hanyalah alasan klise yang takkan merubah sebuah
mimpi. Ketika kita ingin merubah dunia, berusahalah merubah negaramu, sebelum
merubah Negara mulailah dari provinsi, kota dan desamu. Dan sebelum semua itu anda
lakukan, mulailah dari DIRIMU SENDIRI. Karena sesungguhnya, Allah takkan
merubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut berusaha merubah diri mereka sendiri.
SEMANGAT PRESTASI!
Dan, SALAM PRESTASI!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar