Selasa, 11 November 2014

BIDIKMISI JALAN MENGGAPAI ASAKU

BIDIKMISI JALAN MENGGAPAI ASAKU
Senja tak selamanya berwarna jingga, malam tak selamanya gelap gulita, bahkan pagi pun tak selamanya dengan sang surya yang cerah bersinar. Akan ada saat dimana senja itu berubah suram, akan ada saat dimana sang malam benderang dengan cahaya sejuta bintang dan sang purnama yang siap berbagi cahaya redupnya, bahkan akan ada pagi yang dirundung kabut tebal. Dan aku sangat yakin begitu jua yang akan ku alami dalam hidup ini. Disetiap tangisan selalu ada tawa, di setiap kepedihan selalu ada kesejukan yang dapat menghilangkannya, di setiap luka akan ada yang mengobati, disetiap usaha akan ada hasilnya, di setiap do’a akan ada jawabannya, dan disetiap mimpi akan ada sesuatu yang terwujud.
            Yah, mimpi,.. terlahir dalam keluarga yang serba pas-pasan. Yang hanya mengandalkan seorang ayah yang selalu mengais rezeki dijalan yang berdebu, melintasi jalan raya yang bahkan tak menentu langkah dan roda-roda kehidupan akan membawa kemana. Semangat ayah yang selalu menjadi cambuk untuk terus melangkah, peluh Beliau di bawah teriknya mentari, tubuh Beliau yang menggigil dengan hujan yang begitu kejam mengguyur tubuh rentanya, tak pelak membuat hatiku hancur saat menyaksikan Ia menggigil, namun masih bisa tersenyum di hadapan anak - anaknya. Seorang Bunda yang bahkan begitu luar bisa, yang dengan keikhlasannya selalu menjadi tongkat buat anak-anaknya tetap berdiri, meski terkadang dengan ketegasan yang tak pelak membuat kami merasa harus mengikuti keinginan beliau. Dan itu wajar, beliau tak sempat menuntaskan pendidikan, jangankan bangku kuliah bangku SD pun tak dapat beliau nikmati. Namun Beliau selalu menggantungkan mimpi pada kami anak-anaknya, agar dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Dengan segala keterbatasan Beliau berusaha membantu Ayah untuk bekerja, lagi-lagi jiwaku hancur. Sebagai anak aku merasa hanya menambah beban dengan semua ini, ada rasa tak ikhlas bahkan rasa bersalah tiap kali melihat Beliau begitu letih. Karena aku tahu, beliau rentan untuk sakit bila terlampau letih. Dan semua itu ku dapatkan hikmahnya, beliau mau mendengarkan kami anak-anaknya agar berhenti bekerja.
            Sedang kakak ku yang paling besar, harus menghentikan langkahnya hanya sampai di titik S2 (SD, SMP), mas Arif menghentikan langkahnya karena sebuah keinginan yang begitu tulus, ia berhenti dan memilih untuk membantu orangtua kami bekerja. Dengan harapan bisa meringankan biaya sekolah ku, dan kakak perempuan serta si kecil. Hanya bermodal ijazah SMP apa yang dapat ia lakukan, bergelut dengan ombak dan pantai adalah pilihan yang ia ambil. Berjuang melawan ganasnya gelombang, malam jadi siang buatnya, dan siangpun tak berarti malam. Dan ia sukses membantu biaya sekolah kakak perempuan hingga sma sedang aku masih duduk di bangku smp. Baginya gelombang bukan sesuatu yang menakutkan namun gelombang adalah sahabat, lautan yang begitu luas adalah ladang nafkah. Namun hati bunda selalu khawatir membayangkan ganasnya ombak yang menerjang. Dan semua perjuangan keluargaku takkan ku siakan begitu saja, kondisi yang begitu nyata ‘bermain’ di depan mataku. Membuatku sadar menuntut takkan memberi solusi malah semakin akan menjadi beban untuk keluarga, terlebih saat musim tak bersahabat. Meski begitu aku takkan tinggal diam membiarkan mimpiku terhenti.
            Semangat menuntut ilmu dan tekadku seolah di uji kebenarannya oleh Sang Pencipta. Saat SMP jarak rumah dengan SMPN 13 MATARAM cukup jauh, dan saat berada di kelas 8 kondisi ekonomi tak begitu baik. Ditambah dengan kendaraan yang belum ada. Mengharuskanku mempertahankan komitmen yang selama ini ku ikrarkan. Dan semua itu ku jalani selama kurang lebih 1,5 tahun sekolah ku tempuh dengan berjalan kaki. Tapi keadaan ini tak lantas membuatku berkecil hati, justru sebaliknya membuatku semakin bersemangat untuk belajar. Dan aku berharap dapat melanjutkan sekolah ke SMK dengan harapan begitu lulus SMK aku dapat bekerja dan kuliah dengan biaya sendiri. Namun lagi-lagi Allah memberi jalan yang jauh lebih indah, dengan alasan biaya semua itu berlalu begitu saja. Dan SMA HANGTUAH menjadi muara dari sebuah mimpi baru, jujur dengan semua yang ku usahakan saat smp aku merasa kurang puas dengan kenyataan bahwa aku harus sekolah ditempat yang sama dengan kakak perempuanku. Sekolah swasta sama sekali tak ada dalam denah mimpiku semasa SMP. Namun lagi-lagi Allah mengambil peran untuk menyadarkan hamba-NYA yang tak pandai bersyukur, dan aku sadar disinilah kesempatan emas itu. Setidaknya dengan aku bersekolah di SMA ini membuka lebih besar kesempatan untuk memperoleh beasiswa, hal ini bisa meringankan beban orangtua. Terlebih saat ayah memberi nasihat, “ji, kamu tahu mutiara? Dimanapun mutiara itu diletakkan. Di tempat yang istimewa atau dilumpur sekalipun namanya tetap mutiara. Begitu juga kamu.” Sederhana, namun kata-kata beliau bisa menyemangatiku.
            Terlalu banyak mengulang kisah. Dan mimpi-mimpi baru mulai ku tata, mimpi menjadi seorang dokter adalah mimpi yang tak pernah dapat ku hapuskan dari relungku, bahkan hingga detik ini. Namun lagi-lagi aku tak ingin egois, aku masih memiliki seorang adik laki-laki yang juga berhak menikmati pendidikan yang tinggi bahkan lebih tinggi dari kakaknya ini. Matematika adalah sesuatu yang aku cintai, dan selalu ada kenikmatan saat berhadapan dengan mata pelajaran ini, mungkin ini juga yang membuatku bisa begitu dekat dengan guru-guru yang mengajar matematika. Bunda Sri adalah seorang guru sekaligus seorang ibu buatku di sekolah, beliau selalu memiliki banyak nasihat bijak untukku. Mendekati ujian, aku banyak mencari informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru di universitas negeri. Seperti biasa tiap ada kesempatan kami selalu mengobrol, “nak, setelah lulus SMA mau kemana?” entah jawaban darimana ini, entah aku sadar atau tidak spontan aku menjawab “kuliah bu, kan mau nerusin ibu.... tapi bu itu juga kalo ada biaya.” Dan jawaban terakhirku membuat beliau begitu marah, “inggat nak, Allah Maha Kaya, yakin akan ada jalan.” Gak ku sangka jawaban instanku membuat beliau meneteskan airmata. Dukungan gak hanya aku dapatkan dari Beliau, guru-guru yang lainpun mendukung, bahkan beberapa guru sempat bicara dengan bunda bahwa aku harus melanjutkan kuliah. Dan hal ini membuatku semakin bersemangat. Lebih-lebih saat seorang teman SMP ku ukhti Fitri (Bq. Nurul Fitriani) yang mendapatkan BIDIKMISI memberikan informasi kepadaku. Ya inilah awal perkenalan ku dengan si pemutus mata rantai kemiskinan. Ukhti Fitri memberi informasi selengkap mungkin dan segera ku sampaikan pada guru di SMA yang memang bergelut di bidang pengurusan masalah ini.
            Dan pertanyaanku memulai sebuah langkah, ternyata undangan untuk mengikuti SNMPTN sudah ada disekolah namun belum sempat di beritakan kepada kami, dan sekolah sama sekali belum mengetahui masalah BIDIKMISI. Akhirnya ku beranikan diri mendatangi bagian akademik rektorat bersama ke 5 sahabatku. Dan hal ini cukup nekad karena hanya dengan bermodalkan undangan SNMPTN aku memberanikan diri untuk kesana, awal memasuki gedung rektorat terlintas begitu saja dalam benakku “suatu saat ditempat ini juga aku akan menuntut ilmu.” Dan semua do’aku terjawab, meski dengan sederet perjalananan panjang. Kembali menemui wakasek kesiswaan dan bicara pada beliau mengenai BIDIKMISI dan meminta rekomendasi dari sekolah, ternyata jawaban beliau masih sama. “SNMPTN bisa diuruskan dari sekolah, tapi untuk BIDIKMISI sekolah belum berani karena ini pertanggungjawabannya sampai seterusnya.” Dengan bermodalkan nekad, aku mengikuti SNMPTN yah hanya sekedar mengadu nasib saja seandainya pun lolos belum tentu aku dapat melanjutkan kuliah. Dan Allah membawa berita Gembira. Aku dinyatakan tidak lolos hehe.
            Penantian ijazah cukup lama, dan aku bukan tipe orang yang suka berdiam diri tanpa aktivitas, aku sempat bekerja dengan harapan seandainya aku dapat kuliah tahun ini aku bisa membantu sedikit dari biaya kuliahku. 2 bulan bekerja disebuah mini market kecil lumayan memberikan pengalaman, dan tentunya aku tetap berusaha untuk bisa melanjutkan kuliah, sebagian dari gaji pertama ku gunakan untuk memberi pin ujian SBMPTN dan ternyata aku salah pilih. Tes yang kupilih adalah tes IPC, sedangkan aku gak pernah menyentuh pelajaran IPS sudah 2 tahun ini. Dan ini adalah isyarat bahwa aku akan kembali gagal. Ada kekecewaan setelah ujian ku laksanakan, tapi disisi lain justru aku berharap bahwa aku tidak lolos dalam tes ini. Bukan karena aku putus asa dengan mimpiku, namun kondisi yang membuat hati kecilku berharap demikian.
            2 minggu sebelum pengumuman, ayah jatuh sakit. Ginjal beliau kambuh, yang membuat beliau tak bisa bergerak bebas. Salah satu ginjal beliau membengkak. Dan aku tahu itu sangat sakit. Bahkan sempat aku berdo’a, seandainya usiaku dapat kuberikan untuk mengurangi sakit yang beliau rasakan, insyaAllah aku ikhlas. Seandainya aku lulus, aku akan membawa kabar gembira untuk keluargaku namun disisi lain aku akan menjatuhkan sebuah batu besar tepat dipunggung ayahku. Namun seandainya aku tak lulus, akan ada kecewa dan itu juga berarti aku dapat tetap bekerja. Dan Allah berpihak padaku, lagi-lagi aku dinyatakan tidak lolos. Dan saat itu aku sudah membulatkan tekad untuk tetap bekerja, kuliah bisa tahun depan meski giliran hatiku yang di tikam benda tajam.
            Segala Puji bagi Allah, yang begitu sempurna dengan segala rencana untuk setiap hambaNya. Allah mengirimkan pertolongan-NYA melalui teman Ayah, sebut saja paman Saeful. Beliau yang memberikan dukungan moral kepada Ayah untuk tetap memaksaku mengikuti tes terakhir ini. Dan aku sama sekali tak kuasa menolak, karena jujur mimpi itu begitu besar. Meski aku sudah memberikan syarat kepada ayah, jika ternyata aku kembali gak lulus berarti ini jawaban dari Allah, bahwa aku harus hijrah. Tak mengiyakan tak juga menolak, ya Ayah hanya diam mendengar jawabanku. Hari itu juga aku diminta untuk berhenti bekerja dan mengurus semua administrasi peserta tes mandiri. Setelah semua proses usai dijalani, tiba saat pengumuman. Lagi-lagi ketidaksiapan menelan kecewa menghampiriku. Tapi entah dari mana keyakinan itu, aku begitu yakin bahwa inilah jalanku. Apapun hasilnya aku yakin Allah telah membukakan pintu yang terbaik buatku. Dan Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, pada prodi yang aku cintai “pendidikan matematika”. Namun begitu, beban yang lain kembali muncul, karena aku lulus di kelas ekstensi otomatis biaya yang harus aku bayar berkali lipat dengan mahasiswa reguler, Rp. 4.250.000,- tanpa angsuran-. Astaga mau dapat uang dari mana, dan ternyata janji Allah berwujud nyata, tak hanya memberikan jalan Allah pun telah menyiapkan pintu yang begitu indah buatku. Saat pembayaran biaya kuliah, awal pertemuanku dengan pembina BIDIKMISI Bapak Farouk, beliau menyarankanku untuk mendaftar beasiswa bidikmisi. Hari itu juga aku mengurus semua persyaratan mendaftar Bidikmisi, dan segalanya seolah dimudahkan. Besok adalah hari terakhir pendaftaran, dan semua berkas itu telah siap.
            Aku tak berharap banyak, karena tak hanya 1000 pendaftar tapi lebih dari 2000 pendaftar sedang yang dibutuhkan hanya 750 mahasiswa. Beberapa bulan, aktivitas perkuliahan membuatku cukup melupakan masalah beasiswa yang tak kunjung mendapat titik terang. Ketidak sengajaan mengikuti pertemuan mahasiswa bidikmisi berhasil memberikan manset berbeda, yah ini takkan menjadi hal terakhir mengikuti forum BM, tapi justru ini sebagai pemantasan untuk dapat mengikuti forum-forum seterusnya. 2 pekan setelah pertemuan itu, ketika aku masih dirumah. Seorang kakak mengirim sms yang berisi ucapan selamat, aku bingung apa maksud sms itu. Tapi semua ke bingunganku langsung mendapat jawaban, ketika aku tiba di kampus. Biasanya sangat jarang aku melewati gedung A, tapi hari ini seolah ada sesuatu yang membuatku ingin melangkahkan kaki pada gedung itu. Dan ternyata ada selembaran baru yang tertempel di depan kaca bagian ke mahasiswaan, penasaran mengetahui pengumuman itu. Tak sengaja ku temukan sepucuk namaku diantara sederet nama-nama yang tertera, “loh kok ada namaku?”. Setelah itu baru ku cari pengumuman tentang apa ini, ternyata itu adalah pengumuman penerima beasiswa BIDIKMISI, Alhamdulillah,... tak henti-hentinya aku bersyukur. Rasanya aku ingin segera pulang melakukan sujud syukur dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku.
Hadir dalam keluarga BIDIKMISI bukanlah ssesuatu yang diharuskan, namun menghadirkan diri dalam bagiannya adalah hak bagi seluruh penerima beasiswa BIDIKMISI. Karena dalam forum ini tak hanya mendapatkan informasi terkait dana tetapi lebih dari itu. Bersama dalam forum, memberikan kesempatan untuk duduk bersanding dengan banyak orang-orang hebat, dan mendapatkan lebih banyak saudara yang dapat menginspirasi untuk terus bergerak.
            Dan pilihan ini tak salah, menghadirkan diri dalam denah kegiatan forum yang luar biasa memberi kepuasan. Membuatku merasakan sesuatu yang berbeda, melangkah dari rumah untuk menebar informasi tentang mata rantai pemutus kemiskinan seolah memberi kepuasan tersendiri dan aku sadar, bukan hanya aku dan kami yang berhak merasakan indahnya bersama dalam keluarga BIDIKMISI tapi, mereka adik-adik di luar sana juga berhak menikmati hal yang sama. Dan berbagi itu indah. Banyak hal yang ku dapatkan selama bergelut di dalam forum. Masih ada 3 tahun pengabdian untuk mengukir mimpi bersama BIDIKMISI, dan menuntut hak bukanlah sebuah kebijakkan. Namun bagaimana pelunasan terhadap kewajiban agar hak tersebut menjadi jauh lebih indah. Mimpi baru kembali terukir dalam lembaran hari, “jika saat ini, aku melihat langit dari tanah yang ku pijak. Maka suatu saat, aku akan melihat pijakan itu dari angkasa”, sebuah motivasi yang ditularkan kepadaku. Simple tapi dari mimpi sesimple itu telah membawa banya generasi mengepakkan sayapnya, sesuatu yang dulu terasa imposible kini menjadi I’m possible. Yang jelas Allah takkan menyia-nyiakan hamba-NYA yang bersungguh-sungguh. MAN JADDA WA JADDA.
            Melangkah takkan berarti meninggalkan langkah kecil yang membuatmu melangkah. Namun melangkah lebih jauh akan mengukir sebuah sejarah baru bagi hidupmu dan dunia. Ciptakan generasi EMAS Indonesia bersama BIDIKMISI. Karena BIDIKMISI hadir untuk aku, anda, dan kita semua agar mampu “MENGGAPAI MIMPI MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN”. Saat ini, Kemiskinan bukan lagi momok yang menakutkan untuk menggapai mimpi, kemiskinan hanyalah alasan klise yang takkan merubah sebuah mimpi. Ketika kita ingin merubah dunia, berusahalah merubah negaramu, sebelum merubah Negara mulailah dari provinsi, kota dan desamu. Dan sebelum semua itu anda lakukan, mulailah dari DIRIMU SENDIRI. Karena sesungguhnya, Allah takkan merubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut berusaha merubah diri mereka sendiri.
SEMANGAT PRESTASI!
Dan, SALAM PRESTASI!!!             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar