Kamis, 19 April 2018

RAIN


Jum’at, 30 maret 2018

Hening
Sunyi dan segalanya terasa mengasingkan
Duh hati
Berdamailah
Lihatlah senja yang kian beranjak
Semakin menepi dan menua
Lihatlah
Dimana kau letakkan hatimu
Bahkan saat rembulan telah naik sepenggalan
Mengapa kau masih mengunci diri
Mematri rasa pada jeda yang tak terhubung
Sudahlah
Usaikan
Hentikan tangismu
Rajut kebali mimpimu
Mungkin dia bukan lagi bagian dari harimu
Berhentilah


Sabtu, 17 Desember 2016

“ Siapa bilang Hijab hanya Tradisi Arab?! ”


Aku cinta budaya ku, tapi aku lebih cinta agama yang ada padamu.
Ah kurasa, ungkapan itu cukup mewakili setiap jejak yang membias dalam perjalananmu. Bukan sekedar ironi jiwa si pemuda atau jerit kerisauan si gadis. Indonesia, sebuah negeri yang bagi dunia letaknya tak terjangkau. Bukan karena indonesia tak tersentuh dalam peta dunia atau globe yang katanya berbentuk bola, kenapa katanya?! Sebab aku lebih sepakat jika dunia di simbolkan sebagai sebuah hamparan. Ya... hamparan kasih Illahi, hamparan harapan setiap anak manusia, hamparan cinta Pencipta yang tak berbatas lengkungan atau pun tebing curam. Aku lebih suka mengatakan dunia adalah hamparan... hamparan kasih yang tiada batasnya.
Indonesia... adalah negeri yang penuh dengan anugrah Tuhan, jejeran pulau yang membentang dari sabang hingga marauke nyatanya menelisik setiap jiwa yang menjejakkan kaki di belahan bumi-Nya. Surga yang terasingkan, dengan kekayaan yang tak berbatas, hanya saja si ‘rakus’ nampaknya masih asik memonopoli kekayaan Alam rakyatnya. Aku, akan lebih suka jika yang menikmati adalah putra kandung Indonesia, tapi lihatlah, dengarlah tangis anak negeri yang setiap aliran nafasnya di renggut si penjajah. Saat anak negeri, terasingkan dan kembali terjajah bersamaan dengan kemerdekaan yang telah diperjuangkan pahlawannya, saat sang saka berkibar di seluruh tiang tertinggi negerinya. Nyatanya, si pemuda dan si gadis masih terkungkung dalam Kerasnya Asing yang berkuasa.
Sudahlah, aku sedang tak ingin mengurai rintih jiwaku diatas keyboard tua yang hampir punah. Menghabiskan tintaku, mengurai setiap kata diatas selembar kertas yang kian usang. Saat pena diangkat dan tulisan kian mengering maka sejarah telah tertoreh dengan nyata disetiap jejak anak manusia.
Lihatlah mentari yang memantulkan cahaya di ujung barat, menyebar dan memantulkan cahayanya secara lokal. Bias!. Bayang jingganya perlahan tenggelam di garis pantai, tampak begitu dekat bukan? Menjingga, perlahan menggelap lalu menghilang. Simbol dunia yang kian tua, simbol keangkuhan jaman yang mulai menelisik menjauh dari norma dan moral anak negeri yang kental dengan budaya ketimuran, budaya yang menjunjung tinggi moral dan keselarasan dengan agama yang di yakini.
Apa lagi ini?! Aku masih saja menjejalkan kaki diatas pasir pantai, menikmati hempasan ombak yang menebarkan aroma basah khas samudra. Bulirnya lembut menerpa wajahku.  Memantulkan pesona nusantara yang tak pernah habis dari perbincangan, nusantara yang penuh dengan adat tradisi dan kebudayaan yang masih sangat kental.
Ini tentang perjalanan anak manusia, yang kadang terasingkan dalam dilema sanubarinya sendiri. Di sudut kota tanpa lampu, anak pesisir di pulau terpencil dari sekian ribu pulau kecil lainnya. Ah salam rindu dari sebuah pulau cinta, Pulau Lombok yang mungkin masih dipertanyakan keberadaannya. Seperti waktu itu, saat kaki ini melangkah pertama kali di tanah Kembang.
“NTB itu dimana?”
Pertanyaan itu sontak membuat gejolak dada kian lebih cepat, bayangkan saja jangankan Lombok, NTB pun tak terbayangkan dalam benak mereka.
“Lombok itu di NTB.” Jawabku sekenanya, ku pikir itu hanya gurauan rekan ku dalam pertemuan nasional.
“Loh... lombok dan NTB itu satu?!” tanya mbak Nina mahasiswi Unila.
“Aku kira Lombok, ya Lombok. NTB ya NTB, Mataram ya Mataram?!” imbuh yang lainnya.
“Wah, aku kira mbak becanda gak tau lombok. Jadi NTB itu merupakan sebuah provinsi yang terdiri atas beberapa pulau. Dengan dua buah pulau induk, yaitu pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Sumbawa pun, ada bagiannya lagi. Begitu juga di Lombok. Kalau Mataram itu ibaratnya ibu kota Lombok. Di lombok sendiri ada pulau kecil yang dikenal dengan sebutan gili.” jelasku, rasanya ingin sekali memaparkan Lombok sebagai pulau kecil yang indah.
“Nah, kalau gili trawangan aku tau!” seru Azalia yang saat itu baru bergabung bersama kami.
Yang benar saja, Lombok tak masuk kedalam ingatan meraka, tapi justru Gili “Tralala-Tralili” begitu mereka ingat. Tralala-Tralili itu pun nama yang di berikan kawan Ikahimatika Indonesia saat berkunjung beberapa tahun yang lalu, kata mereka sih nama itu cocok untuk pulau kecil di Lombok yang menawarkan pesonanya. Jika Pulaunya saja tak masuk daftar, bagaimana budaya yang ada di dalamnya.?! Baru saja ingin ku lanjutlan ceritaku tentang si Kecil yang menjadi Pulau Serambi Madinah, tiba-tiba pengeras suara di gedung Keong Telkom University Bandung membuyarkan obrolan kami saat itu. ****
Pertemuan hari itu, menjadi sebuah cambuk bagiku. Ya setidaknya 4 hari aku disini, bisa membuat mereka sedikit lebih mengenal Lombok. Belum sempat aku, sampaikan mbak Azalia mahasiswi UNS menyentuh bahuku. “mbak puji, ntar ceritain ya Lombok itu kaya gimana?” pintanya. “Ok! Mbak.”
Senja mulai beranjak, menepi pada peraduannya. Pertemuan pagi hingga sore hari ini disudahi, gema takbir mulai menghiasi seantero kota Kembang. Jangan heran, Ramadhan baru saja bersemi. Saat perjalanan kembali ke asrama tempat kami menginap, “Mbak, kita ngabuburit yuk. Sekalian mbak ceritain lagi Lombok kaya gimana?” Mbak Nina mengajak kami keluar Kampus untuk mencari jajanan di depan kampus Telkom. “Ya udah ayok.” Jawabku, dan di sambut anggukan mahasiswi lainnya. Dan kami berbalik haluan.
Benar saja, dari balik pintu gerbang kampus sudah berjejer pedagang yang menjajakan jajanan khas buka puasa. Kami memilih minum es podeng khas Bandung.
“Lombok itu, terkenal dengan Rinjani dan Pantainya mbak. Kalau ke lombok belum pernah ngerasain ombak pantainya mah belum afdhol. Yang aneh, kok bisa Lombok belum di kenal di FP (Forum Prempuan) BEM SI padahal beberapa bulan kemarin kita kan RAKERNAS BEM SI di sana.” Aku memulai perbincangan.
“Ia mbak, nyesel juga gak ikut kesana. Tapi, aku masih penasaran lo mbak dengan budaya disana. Pernah dapat cerita, katanya di sana afwan pakaian ADK khususnya akhwatnya khas banget ya?! Cenderung mengadopsi tradisi arab. Maksudku, kita berpakaian syar’i tapi ada juga akhwat yang berpakaian seperti kebanyakan orang arab?” tanya salah seorang aktivis.
“Hem... bagi kami, mahasiswi yang aktif di ADK/LDK khususnya di NTB sangat tidak sepakat jika kami berhijab di anggap mengikuti budaya arab. Aku yakin, mbak dan teman-teman lainnya sudah sama-sama memahami hakikat dari hijab, jilbab, khimar bahkan kerudung itu seperti apa. Menutup aurat bagi umat muslimah adalah sebuah kewajiban, keniscayaan yang harus di taati oleh setiap wanita yang mengaku beriman. Bukan pekara kita sudah baik, justru karena kita ingin memperbaiki dirilah hingga kita memutuskan untuk berhijab. Jika menunggu baik, atau seperti kata sebagian wanita ‘tak penting luarnya, yang penting hatinya’. Lantas siapa yang menjamin kita akan berada di dunia ini sampai kita ‘baik’, belum lagi ‘baik’ akan bernilai relatif sebab setiap orang punya kriteria yang berbeda untuk di anggap ‘baik’.” Sejenak ku tarik nafas.
“jika yang dimaksud mengikuti budaya arab adalah dengan mengenakan cadar atau pakaian longgar dan khimar yang menjulur lebar menutupi sebagian besar tubuh. Maka mbak-mbak belum mengenal budaya kami di NTB. Siapa bilang berhijab hanya budaya Arab?! NTB itu....” perkataan ku terpotong oleh suara adzan yang menggema dari masjid Syamsul ‘Ulum kampus Telkom.
Allahu Akbaaar.... Allahu Akbaarr!!!
Allahu Akbaaar.... Allahu Akbaarr!!!....
Panggilan Allah telah terdengar, perbincangan senja itu kami hentikan sejenak untuk memenuhi panggilan Kekasih. Allah!! Mudahkanlah hati mereka menerima kebenaran perintah-Mu. Bukan, tentang sebuah budaya namun tentang pengabdian diri seorang muslimah. Tentang bukti cinta, tentang sebuah pemantasan Memandang Wajah-Mu kelak.
            Langkah menuju masjid Raya kampus begitu ringan, terasa benar nikmatnya berpuasa di tanah yang berbeda, dengan suasana yang berbeda pula. Setelah berjalan beberapa menit, masyaa Allah masjid di hadapan ku. Dengan pelataran masjid yang dihiasi lampion berwarna warni yang membentul tulisan “SYUKRAN” lalu di sisi lain bertengger pula lampion dengan tulisan “AL-IKHWAN” sebagai tanda dan batas area ikhwan bukan tentang pemboikotan daerah he, ternyata itu tradisi di sepanjang bulan Ramadhan. Ada area khusus yang tak boleh dilanggar Ikhwan-Akhwat jama’ah Masjid Syamsul ‘Ulum, hal ini karena mereka akan melakukan rutinitas Terawih berjama’ah dan demi menjaga ke akhsan an ikhwan-akhwat disepakatilah area khusus bagi keduanya.
            Usai menjalankan ibadah shalat Magrib dan rutinitas lainnya, kami kembali membentuk lingkaran untuk melanjutkan diskusi tadi yang sempat terhenti.
“jadi, gimana mbak?” tanya azalia memulai perbincangan.
“sampai mana tadi?! ... oya, seperti yang tadi siang aku bilang NTB itu gak hanya Lombok, disana ada juga pulau Sumbawa, dan di Sebrangnya ada Pulau Bima dengan kota-kota yang ada di dalamnya. Setiap pulau di NTB memiliki budaya dan tradisinya masing-masing. Bahkan di satu desa dengan desa lainnya memiliki adat kebiasaan yang berbeda. Salah satu adat yang patut dan harus –menurut saya– untuk di lestarikan adalah adat Rimpu. Rimpu sendiri adalah busana wanita Bima yang menggunakan dua lembar (dua sando’o) sarung untuk bagian atas dan bawah. Sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu, tetapi memakai “katente” yaitu sarung yang digulung di pinggang.  Rimpu sendiri ada dua jenisnya. Yaitu Rimpu Mpida yang digunakan oleh kaum hawa yang masih gadis atau yang belum menikah, dan Rimpu Colo yang di pakai para ibu-ibu.” Aku berhenti sejenak untuk melihat respon mereka. Sejenak mereka terdiam, sesekali mengangguk dan menampakkan rasa penasarannya.
“Lanjutkan ukh, hem afwan boleh ana bergabung?” sebuah suara, tiba-tiba menyapa dari belakang lingkaran kami. Aku tersenyum saat melihat kearahnya, ternyata mbak Fadqi mahasiswi dari Sebi.
Tafadholy mbak” jawabku, dan di ikuti senyum yang lainnya. “Nah, Rimpu Mpida sendiri tata cara penggunaannya sangat mirip seperti akhwat yang mengenakan cadar. Para gadis Bima tidak diperkenankan menampakan wajahnya selama belum menikah. Mereka hanya boleh memperlihatkan wajahnya kepada mahromnya saja dan para gadis sebayanya di ruangan tertutup yang tidak dilalui lelaki. Rimpu Mpida atau dikenal juga dengan istilah Rimpu cilik digunakan oleh para gadis saat akan keluar dari rumah, jika mereka keluar rumah tanpa menggunakan Rimpu Mpida dan memamerkan aurat maka mereka akan dikenakan sanksi. Hal ini, karena mereka ddianggap telah melanggar hukum moral, hukum keagamaan dan adat istiadat. Tapi, bukan berarti wanita Mbojo (istilah untuk wanita Bima) merasa terkekang dengan peraturan budaya ini, mereka justru mengingat dan tetap menjunjung tinggi budaya tersebut karena mereka sadar bahwa hal ini akan mengokohkan keyakinan mereka dan kepercayaan merea terhadap perintah-perintah yang ada di dalam Agama dan Kepercayaan mereka. Hal ini berlaku tidak hanya untuk para gadis, hal yang sama pun di patuhi oleh para ibu-ibu mbojo. Mereka sangat menjunjung tinggi budaya dan tradisi muslimah di Mbojo. Tapi, lihatlah setelah era modernisasi masuk dan merusak moral anak bangsa dengan berbagai mode dan trend yang meruntuhkan moral dan budaya ketimuran khas Indonesia. Memonopoli adat tradisi, dan mensuntikkan budaya khas kebarat-baratan. Berbagai macam media mereka luncurkan. Mulai dari koran, majalah, radio, lalu berkembang ke media Visual lainnya Televisi, bahkan Internet merambah berbagai sendi kehidupan. Budaya Timur bangsa Indonesia perlahan namun pasti mulai bergeser, digantikan dengan budaya Barat, yang afwan harus ana katakan jauh dari ‘moral dan kebiasaan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan malu’. Budaya Asing mulai menggerogoti anak bangsa, mendoktrinkan bahwa budaya menutup aurat menjalankan perinta agama adalah budaya Arab, dan mereka mengasumsikan bahwa budaya yang mereka bawa adalah budaya nusantara. Astaga, apakah mereka sehat?! Atau mungkin kita yang kurang sehat, hingga menelan mentah-mentah setiap doktrin yang mereka berikan. Pantas saja, mereka semakin girang memainkan peran di tanah air. Meraup sebanyak-banyaknya kekayaan alam yang ada di dalamnya. Tidak hanya kekayaan alam kita yang dirampok, nyatanya perjalanan ‘sejarah’ anak bangsa pun perlahan mereka ingin musnahkan. Membuat setiap orang bersitegang membantah budaya dan tradisi nusantara.” Jelasku panjang lebar, ingin rasanya meremas setiap budaya yang mereka tebar di tanah airku.
“Astaghfirullah,.. ternyata seperti itu budaya di NTB. Subhanallah... benar, kadang kita di buat tak sadar dengan virus yang di tebar asing.” Timpal mbak Nina.
“Ia mbak, kita sadar atau tidak itu semua karena permainan mereka yang terlampau rapi. Menguasai ranah industri, menayangkan segala sesuatu yang menguntungkan bagi mereka. Alhasil pemuda-pemudi desa yang awam dengan hal-hal berbau teknologi menelan mentah-mentah setiap tayangan yang di sajikan. Dan... sudah bisa kita baca hasilnya seperti apa. Putra-putri Indonesia mulai menjauh dari tradisi dan norma yang berlaku di Indonesia, mulai tertarik menggunakan mode dan trend baru yang di tayangkan. Menganggap adat dan budaya sebagai sesuatu yang Kolot, ketinggalan jaman, kampungan dan lain sebagainya. Padahal, mereka tidak sadar bahwa mereka telah di gerogoti dari berbagai arah. Mereka di racuni fikirannya, dirusak tatanan nilai dan moralnya, keragaman dan kebanggaan terhadap agama dan keyakinannya perlahan dikoyak hingga tak bersisa. Lalu pergaulan bebas sebebas-bebasnya menjadi surga kedua bagi mereka yang mengikuti arus perkembangan jaman. Membuat mereka lalai dalam kenikmatan semu. Astaghfirullah... bukankah mereka adalah orang-orang yang merugi?!”
“bener mbak, saya sepakat.” Timpal mbak Azalia. “jadi penasaran seperti apa model pakaian Rimpu itu?”
“Kebetulan saya punya fotonya, sebentar.” Ku keluarkan Handphoneku dari dalam saku almamater ku tercinta, lalu menunjukan beberapa foto Rimpu Mpida dan Rimpu Colo.
“wah, sayang sekali kalau budaya sebagus ini harus pudar ditengah masyarakat.” Keluh mbak Nina.
“itulah mbak, saat ini Rimpu hanya digunakan oleh gadis-gadis desa di pedalaman Bima dan sesekali di kenakan oleh gadis modern saat melangsungkan even di kota. Festival adat dan lain sebagainya, sedangkan dalam keseharian kebanyakan dari mereka mengadopsi budaya barat.” Jawabku.
“sayang sekali mbak, benar-benar patut disayangkan. Budaya ini harus dilestarikan. Sangat penting bagi masyarakat terutama kaum hawa untuk melindungi mereka dan agar lebih mudah dikenali.” Timpal mbak Fadqi.
Allahu Akbaar... Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbaar... Allahu Akbar...!!!.....
            Adzan kembali berkumandang. Alhamdulillah tepat disaat aku selesai membagi budaya dari ujung Nusantara. Sebuah budaya yang hanya menjadi sejarah manis, sejarah yang bahkan terasingkan dan tak semua orang tahu akan sejarahnya. Sejarah yang hanya akan menjadi sejarah jika tak ada yang menceritakannya kembali. Sejarah perjalanan anak manusia yang pernah begitu dekat dengan moral dan nilai keluhuran, begitu kental dengan pondasi agama dan kokoh dalam ketaatan kepada Tuhannya, Allah Azza wa Jalla.
            Hari ini, akan menjadi saksi peraduan rindu seorang kekasih yang terlanjur jatuh cinta pada sejarah yang pernah ada. Sejarah yang pernah begitu gemilang di era 19. Ah sejarah yang takkan pernah lekang dari hati para Pecinta yang hadir cinta hanya karena-NYA. Lalu masih kau pertanyakan cinta ku pada budaya nusantara? Budaya yang mana? Budaya yang murni terlahir dari para anak negeri atau kah budaya yang lahirnya dari antah berantah negeri yang mana?! Aku masih mengasingkan diri, budaya mana yang semestinya kuturuti? Budaya yang mengagungkan kebebasan? Mengatas namakan kesenangan dunia? Trend? Mode? Penampakkan lekuk tubuh tanpa malu yang semestinya menjadi ciri khas wanita nusantara. Tentang malu ini, ku rasa tak lagi bicara keranah satu agama. Bukankah setiap fitrah wanita nusantara adalah malu? Lalu mengapa tak kau kenakan pakaian malu mu saat mengadopsi budaya barat yang tak mengenal malu?
            Ya Rabb... ampuni kami, yang terlampau asik bermain dengan berbagai gaya dan ragam mode. Hingga kadang kami lalai dari setiap aturan yang ada.
Malam ini, telah di usaikan sepotong kisah. Sebait cerita. Tentang kegusaran anak dari ujung senja. Ya, selalu ada senja disetiap rangkaian kataku. Karena aku terlahir disebuah simpang pesisir pantai, bermain dengan pasir dan gelombang yang bermandikan cahaya senja. Kadang aku menghabiskan berjam-jam waktuku di tepian pantai, menikmati hempasan air laut yang menggulung-gulung dengan begitu lembutnya. Kadang aku pun menikmati, filosofi cinta yang ditebar samudra atas izin-Nya. Tentang Cinta gelombang yang menghempas tanpa menyakiti karang di laut. Tentang Rasa yang menjelma kedamaian dalam birunya samudra, tentang hati yang meluaskan pandang mata. Atau tentang Kamu yang takkan selalu di mengerti hadirnya. Kadang diam, kadang bising, kadang hadir kadang pun berlalu.
Sudahlah, aku tak hanya suka senja.
Aku pun suka dengan pelangi di ujung jingga, pelangi yang terlahir setelah gerimis basah menerpa wajahku. Lembut mengalunkan rindu yang kadang singgah di simpang hati. Rindu memandang wajah-MU. Duhai jiwa!!! Dimana raga kau sandarkan?!
            Rasakanlah, gerimis yang diterpa angin pantai lalu jatuh menimpa wajahmu. Menarilah ditengahnya. Sebab takkan ada yang tau bahwa kau tengah menangis. Menangisi sejarah yang tersimpan dengan begitu rapi dalam peti kayu yang mulai membeku.
Tapi malam ini, aku tak sedang jatuh cinta pada senja, jingga atau pun gerimis. Aku tengah jatuh cinta pada langit malam di kota Kembang. Ah Bandung, kau menjadi bagian cinta dan sejarah baru dalam jejakku. Aku tengah jatuh cinta. Ya... jatuh cinta pada langit luas yang menghitam di hiasi berjuta bintang disana. Ambil satu bintang dan rangkailah ia dengan bintang lainnya. Bisa jadi, kan kau temukan semburat wajah di kolong langit malam ini. Satu lagi, aku cinta budayaku. Namun, aku lebih cinta pada agama yang ada padamu.

Selasa, 10 Mei 2016

Essay Manajemen Syi'ar Dakwah Kampus By. Puji

TUGAS KE – 1 ESAI SYI’AR
TCD
NUSA TENGGARA BARAT



PUJIASTUTI SUGIANTO
(083129002054 WA)
LEMBAGA DAKWAH KAMPUS (LDK) BAABUL HIKMAH
UNIVERSITAS MATARAM




Bismillahirrahmanirrahim.........
            Segala Puji Bagi Allah, pencipta langit dan bumi, pembuat gelap dan terang. Terhatur syalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Qiyadah kita, Teladan kita, Murobbi terbaik dan Nabi akhir zaman Muhammad SAW. yang memberi kabar gembira dan ancaman, yang memberi janji dan peringatan, yang dengan kehadiran beliaulah Allah menyelamatkan manusia dari kesesatan, yang menunjuki manusia ke jalan yang lurus, jalan Allah yang ada di langit dan dibumi, dan hanya kepada Allah-lah semua urusan akan kembali.
            Allah telah menganugrahkan syafaat dan derajat yang tinggi kepada Rasul-Nya, menunjuki manusia agar mencintai beliau dan melandasi kehendak untuk mengikuti beliau karena cinta kepada Allah. Firman-Nya.
“Katakanlah , “Jika kalian (benar – benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa – dosa kalian.” (Ali Imran : 31)
Hal ini termasuk penyebab yang mampu menggetarkan hati manusia untuk mencintai Rasulullah SAW. Untuk itu, kita perlu mencari sebab – sebab lain yang bis mempertautkan hati mereka dengan Rasulullah SAW.
            Semenjak fajar Islam, orang – orang muslim berlomba menampakkan kebaikan beliau, menyebarluaskan sirah beliau yang harum semerbak, baik perkataan, perbuatan, maupun akhlak beliau yang mulia. Tentang akhlak beliau ini, Sayyidah Aisyah, istri Nabi Rasulullah SAW., pernah berkata “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Sementara itu, Al-Qur’an adalah kitab Allah dan kalimat – kalimat-Nya yang sempurna. Maka siapa yang memiliki akhlak seperti akhlak beliau, dialah orang yang paling baik, paling sempurna dan paling layak menerima cinta semua hamba Allah.
Wajar saja bila cinta dan rindu senantiasa terpaut kepada Khalilullah, Kekasih Allah yang senantiasa di rindukan umatnya hingga akhir jaman. Perjalanan hidup Rasulullah, adalah lautan yang luas membentang, dengan kebeningan airnya yang kebiruan. Disana tersimpan pesona alami nan abadi. Tiada mata yang bosan memandang, tiada hati yang jemu menikmati. Tiada berhenti orang menyelami. Karena sosok beliau, adalah pesona sepanjang masa.
Hendaknya kita sebagai hamba Allah dan umatnya senantiasa meneladani dan menjalankan sunnah – sunnah yang telah beliau ajarkan, termasuk juga dakwah yang senantiasa beliau tebar sepanjang hayatnya dan akan selalu di teruskan oleh umatnya yang mencintai beliau hingga akhir jaman.
Dakwah adalah kegiatan menyeru manusia kejalan Allah (Illallah) hingga mereka mengingkari thagut secara sepenuhnya dan beriman kepada Allah dengan meninggalkan jalan kegelapan dan kejahiliyahan menuju cahaya kebenaran islam. Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 193 : “ Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu semata – mata hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (dan memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang – orang yang dzalim”.
Namun, begitu hendaklah kita memahami bagaimana Rasulullah mengajarkan kita untuk berdakwah. Dakwah ibarat tulang rusuk dari sebuah kehidupan, jika ia dibiarkan bengkok maka ia akan tetap bengkok namun jika ia di luruskan dengan paksa maka bersiaplah tulang rusuk itu akan patah. Sebab, itu Rasulullah mengajarkan kita untuk menyampaikan dakwah dengan hikmah, dengan kelembutan dengan kata yang baik dan teladan yang baik pula. Rasulullah mengajarkan kita berdakwah dengan cinta dan hati, karena sesuatu yang diiringi dengan cinta akan berbalas pula dan sesuatu yang disampaikan dengan hati akan sampai ke hati pula.
Jika kaderisasi adalah ruh dakwah, maka syi’ar adalah jantung dari pergerakan dakwah. Dakwah tanpa berani mensyi’arkan kebaikan niscaya dakwah hanya akan menyentuh mereka yang menjadi aktivis di dalamnya. Terlebih jika kita bicara tentang dakwah kampus. Tak bisa di pungkiri, syi’ar adalah ujung tombak dakwah kampus. Syiar yang mengimplementasikan diri sebagai salah satu aktivitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan kemanusiaan. Terutama di kalangan mahasiswa, civitas akademika, maupun masyarakan kampus yang notabennya berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, manajemen diri dan menejemen dakwah hendaknya mampu di pahami terlebih dahulu sebelum bergerak mensyi’arkan kebaikan.
Dunia dakwah, merupakan satu elemen yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingatkan umat manusia untuk berbuat baik, menaati perintah Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan munkar lagi keji. Allah dan Rasulullah memerintahkan kita untuk tolong menolong dan saling menasihati dalam kebaikan. Oleh karenanya Da’i (sebutan untuk pendakwah) hendaknya memiliki wawasan yang luas dan memiliki pemahaman yang dalam tentang berbagai perangkat dakwah yang di butuhkan. Dakwah berorientasi kepada pembangunan dan perbaikan masyarakat. Sehingga sangat penting bagi seorang Da’i untuk memiliki wawasan yang luas agar mampu memberikan kontribusi nyata bagi tatanan masyarakat yang menjadi objek dakwah. 
Dakwah kampus tidak akan terlepat dari aktivitas mensyi’arkan kebaikan. Dimana syi’ar sendiri dapat diartikan sebagai suatu usaha atau proses penyampaian pesan-pesan tertentu melalui perkataan atau perbuatan yang berifat ajakan atau seruan dengan tujuan menyeru dan mendorong agar orang lain memenuhi ajakan atau seruan tersebut.
Tujuan syi’ar tidak lain semata – mata untuk menegakkan kalimat Allah di lingkungn kampus sehingga tidak ada lagi fitnah dan dien seluruhnya hanyalah bagi Allah. Selain itu, diharapkan terbentuknya masyarakat kampus bercirikan intelektual dan profesionalitas menuju kebangkitan islam.
Syi’ar yang merupakan pembuka pintu dakwah menuju tahapan pembinaan, dalam aplikasi di lapangan untuk mencapai tujuan maka harus dilakukan secara bertahap, baik secara umum yang meliputi Pelayanan –> penyadaran – –> pemahaman, maupun bagaimana cara kita mengcover Syi’ar Dari segi mensosialisasika kegiatan yang bertujuan mengsyi’arkan Islam dan mengenalkan masyarakat kampus terhadap islam secara keseluruhan (syumuliyatul Islam).
Dalam perjalanan mesyi’arkan dan menegakkan Islam mutlak dibutuhkan media – media pendukung agar syi’ar yang ingin di tebarkan dapat tersampaikan kepada objek dakwah. Media yang dapat digunakan sangat beragam baik itu media cetak, online, maupun dengan memanfaatkan alat – alat elektronik lainnya dapat pula dengan menggunakan mading sebagai salah satu media yang cukup mumpuni khususnya bagi masyarakat kampus. Selain itu, untuk melebarkan sayap dakwah dapat pula mensyi’arkan dengan cara mengadakan event – event yang dapat di ikuti tidak hanya bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga dapat melibatkan siswa, maupun masyarakat umum. Akan tetapi, untuk dapat menarik minat objek dakwah hendaknya kita mensiasati konsep dakwah dengan mendesainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum dan tetap terarah dalam penyampaian syumuliytatul islam.
            Bagi sebuah lembaga dakwah kampus (LDK) kegiatan syi’ar yang dilakukan merupakan kegiatan yang membutuhkan tahapan – tahapan seperti kegiatan oraganisasi lainnya. Dengan demikian, penting bagi kegiatan ini untuk mengikuti sebuah alur mulai dari tahapan perencanaan (planning), pengorganisasian terencana baik dari sisi SDM pelaksanya, dana maupun waktu (organizing), pengelolaan implementasinya di lapangan (actuating), pengawasan (controlling), serta pengevaluasian seluruh tahapan yang sudah dilakukan terrsebut (evaluating).
            Planning yang dimaksud adalah cara kita menyampaikan syi’ar – syi’ar islam agar dapat tersalurkan secara tepat kepada masyarakat kampus sebagai objek dari dakwah kita. Kesulitan menentukan ide pokok dari kegiatan syi’ar selama ini dikarenakan penyelenggara kegiatan syi’ar masih miskin wacana, kurang membaca atau bahkan kurang perduli terhadap topik – topik yang akan di angkat atau bahkan karena belu memiliki struktur pemikiran yang solid tentang islam itu sendiri. Sebab, salah satu parameter yang menunjukan seberapa kuat struktur pemikiran seseorang tentang nilai – nilai yang dianut bisa dilihat dari sejauh mana kemampuan dirinya dalam membahasakan nilai – nilai tersebut. Semakin jelas pemahamannya terhadap ajaran – ajaran islam maka akan semakin sempurnalah cara yang diambil dalam membahasakan ajaran – ajaran tersebut.
Adapun tujuan utama dari menguasai kerangka pemikiran islam ini adalah bagaimana menjadikan diri kita memiliki cara pandang, metode, pola pikir, dan orientasi tentang hidup dan kehidupan ini sesuai dengn perintah Allah dan Rasulullah yang sebenar – benarnya. Setelah hal tersebut kita miliki maka menjadi tugas kitalah untuk menyebarkannya kepada orang lain, salah satunya melalui kegiatan syi’ar dikampus. Dengan kata lain, menjadikan diri dan orang lain sebagai hamba Allah semata dengan ber-ittiba’ kepada Rasulullah haruslah senantiasa menjadi nafas dari syi’ar islam kita.
            Dalam penyampaiannya, hendaklah prosfek waktu, tempat kemuadian objekmya menjadi pertimbangan tersendiri agar wacana yang akan disampaikan tepat sasaran. Untuk itu sangat penting, bagi LDK sebelum melakukan syi’ar untuk terlebih dahulu mempelajari manajemen dakwah dan manajemen syi’ar dari sumber – sumber yang teoat dan terpercaya. Mengenali objek dakwah dalam kegiatan syi’ar merupakan pintu yang harus di lewati pertama kali. Sebab, objek kita adalah manusia yang didalam dirinya ada hati, akal dan jasad. Oleh karenanya, kegiatan – kegiatan syi’ar yang akan di jalankan seharusnya dapat mengakomodasi ketiga unsur ini. Misalnya, agar dapat menyentuh hati dan akal maka pendekatan yang harusnya dilakukan adalah dengan cara simpatik dan argumentatif. Selain itu, pendekatan melalui jasad dapat di lakukan dengan aktivitas olahraga, atau permainan yang mengandung makna kekompakkan tim, bagaimana seseorang dapat memahami makna “qiayadah wal jundiyah” serta “sami’na wa atho’na” dalam struktur syi’ar maupun kegiatan dakwah lainnya sangat penting untuk dipahamkan kepada objek dakwah maupun kepada si pendakwah.
            Syi’ar tidak akan dapat dipisahkan dari aktivitas dakwah baik dakwah di masyarakat secara umum, maupun dakwah kampus yang berinteraksi langsung dengan masyarakat terdidik yang memiliki ideologi beragam. Maka, Pujian Terhadap Allah mestinya tak pernah luput dari lisan – lisan para penegak panji Islam. Semoga Allah senantiasa meridhai dan menjaga hati – hati kita untuk senantiasa istiqamah berjuang di jalan Allah. Semata – mata mengharap Ridha dan Kasih Sayang Allah SWT.



Refrensi
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman, Sirah nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2014.
Al-Qur’anul Qarim
Kamal, mustafa, Risalah Manajemen Dakwah Kampus, Studi Pustaka, Depok, 2004.


"Ku titipkan cinta ku dibumi mesir "


Senja berdebu... membiaskan cahaya yang mulai meredup...
Entahlah aku masih tak mengerti debu yang mana yang ku maksud, sedang gerimis tebal baru saja menyapu semua debu yang bertebaran di jalan ini.. duh jalan panjang yang dulu pernah mengurai langkah tak berkesudahan.. jalan yang selalu melahirkan setiap adegan yang kian waktu tak jua membias justru kian mengeras dan kian solid dalam ikatan partikel di jiwa ku. Apa lagi ini, tak jua puas kau hadirkan luka berkepanjangan di jiwa.. duhai Dinda... takkah letih jiwamu, selalu menghadirkannya di setiap roda kehidupan yang akan selalu bergulir.. sadarlah ia tak peduli dengan hati mu. Dengan rasamu,!!! Tidak.. tidak... mungkin bukan karena ia tak perduli.. namun karena kau yang terlalu hebat menyimpan rasamu... duh andai saja kau tak sebodoh itu, mungkin saat ini jiwamu takkan sesakit ini. Meratapi sepinya hati yang masih saja bertahan dengan kisah yang telah lalu. Kisah yang bahkan tak pernah sempat kau mulai,.
Tak ingatkah kau, pagi menjelang siang di tepian danau –akh sebut saja kolam ikan di balik mushola itu sebagai danau— itu.. diantara rerumputan mawar tak berkumbang “Andai saja kau halal bagiku, takkan ku biarkan airmatamu jatuh ketanah” dan ingatkah kau,.. apa jeritan hatimu saat itu.. “maka halalkan aku akhi...” hahah apa ini.. kau masih saja bergulat dengan dalamnya kenang tentangnya.
Tak sadarkah kau, tak berbatas bulan bahkan telah bertahun lamanya. Tapi lihatlah dirimu... kau masih saja gemar dengan anganmu.. angan yang membuatmu belum mampu menatap langit biru. 
Entahlah aku pun tak mengerti apa yang ku nantikan. Aku sadar, teramat sadar malah. Ia memang tak tahu bahkan takkan pernah tahu – mungkin – bahwa ada jiwa yang masih merindu hadirnya, aku pun sadar rasa ini salah. “mintalah fatwa pada hatimu, jika ia tenang dengan tingkahmu. Sejatinya itu adalah kebaikan. Tapi, jika engkau tak ingin ada yang tahu dan gelisah jika ada yang tahu, maka sejatinya itu adalah dosa.” Duhai hati, dosakah aku dengan rasa ini? Ya ku rasa ini memang dosa, sebab aku menaruh hati pada yang tak berhak, sebab aku menyimpan cinta pada yang bukan semestinya ku cinta, sebab aku menjaga rasa yang bahkan semestinya telah lama ku luluh lantahkan. Ah bodohnya aku, yang masih saja terbalut rindu yang tak jua ku sudahi.
Padahal sangat ku pahami, ia tak pernah anggap ku ada. Ia masih teramat sibuk dengan rutinitasnya sebagai seoarang master. Ia masih terlampau sibuk sekedar memikirkan aku. Yang hanya anak kecil saat itu, ah siapa diri ini? Aku hanyalah sosok yang dulu ia sapa dengan panggilan – sayang menurut tafsiranku. Padahal itu adalah namaku – DINDA . aku kadang lupa jika Dinda adalah namaku,. Ya, Kamu Ray... hanya kamu yang mampu membuatku hilang ingatan akan namaku. Konyol. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku kembali mencerca hatiku yang tak jua mampu menghapus banyang dirimu.
Sudahlah, aku sudah terlalu berlama – lama melintasi jalan ini. 
Lihatlah kayu coklat diantara dinding rumah itu, ia tampak usang ditinggalkan penghuninya. Benar, wisma yang dulu menyimpan sejuta cerita kini satu persatu ditinggalkan penghuninya. Hari ini, tepat satu tahun delapan bulan sahabat sekaligus saudari terbaikku beranjak melewati kayu coklat itu. Ia, Dewi memang berbaik hati masih mau menemaniku di wisma ini, bahkan setelah ia di pinang kekasih hatinya – Muhammad Khairul Izzan – Dewi, masih bersikeras melanjutkan studinya di sini. Tapi, apa daya ku saat aku berhasil ‘mengusir’ sahabat terbaikku tuk menemani kekasih hatinya. Aku tau, setiap malam dan paginya ia menyimpan rindu teramat pada sang pujaan hati. Dan begitu ku dapat alasan yang tepat, segera saja ku ‘asingkan’ ia pada cintanya. Aku masih ingat, ia menangis dalam rangkulanku begitupun aku. Tapi akupun ingat betapa ia bahagia saat ia dapat mengabdi dengan seutuhnya pada imamnya. Dewi masih rutin mendatangiku, bahkan tak sekali dua kali ia mengajakku makan siang atau sekedar makan malam bersama di istana kecilnya.
Aku masih ingat, bagaimana Dewi dan Akh Izzan mencoba mengenalkan beberapa ikhwan padaku. Ikhwan – ikhwan baik, yang tak jarang pula aku cukup mengenalnya. Tapi entahlah, aku masih memautkan hatiku padanya. Seperti senja itu, dewi tampak kesal oleh ulah ku. 
“Ukhti, anti mau nunggu yang kaya gimana ukh?... si Fulan kuarang apa? Beliau sungguh – sungguh ingin menghitbah anti. Kemarin saat kak izan mengenalkan akh Ferdi, anti bilang ingin menyelesaikan study. Sekarang kita sudag satu bulan di wisuda, bahkan anti berhasil keluar dengan predikat cum loude. Ayolah ukh...?”
Mendengar ucapan Dewi, aku hanya mampu tersenyum. Ya senyuman penuh makna. Andai saja engkau tau ukh, ikhwan yang ku nanti adalah ikhwan yang rela bersusah payah terbang dari nengeri berpasir itu, hanya untuk memenuhi janjinya padamu. Hadir dan menjadi saksi dalam pernikahan mu. Saat itu, aku sempat cemburu. Sebelum akhirnya aku tahu, bahwa akh Izzan adalah sepupu dekatnya. Aku bahagia, karena aku masih sempat berjumpa dengannya. Meski saat itu, tak sempat ada sua diantara kami. Ia hanya tersenyum saat melihatku sekilas. Sama sekali tak ada sapa, bahkan salam pun seolah enggan ia tebar padaku. Aku sedih ukh, teramat sedih saat itu. Setelah 6 bulan lebih tak ku tau kabarnya. Saat, Allah mempertemukan kita kembalinya nyatanya ia enggan menyapaku. Ya Allah,, harusnya Hamba sadar bahwa ia tak pernah melihatku. Tapi, lihatlah aku ukh. Bahkan setelah ia teramat acuh padaku, aku masih menata hati tuk menempatkannya dalam sudut hatiku.
Ia menyapa semua ikhwah KEI tak terkecuali akhwat terlebih ikhwan. Tapi, lihatlah.. jangankan menyapaku. Bahkan, ia seolah menghindariku. Aku merasa terasingkan hadir diantara KEI saat ia kembali. Sama sekali tak ada sapa darinya. Duh... bahkan air bening sempat menetes di pipi ku. Aku teramat ingin menyapanya, tapi lagi – lagi lisanku kelu.
“Ukhti...” Dewi mulai tak sabaran, di goncangnya bahuku. Tak keras tapi cukup membuatku terkejut.
“ia ukh, kenapa? --- Ana masih belum tau ukh, fulan baik sangat baik malah, akh Ferdi pun baik. Tapi ana belum mendapat kemantapan hati ukh.”
“anti akan menetap disini?” 
“nggaklah, satu atau dua bulan lagi in syaaa Allah ana kan kembali ke lombok. Ya sembari menunggu pengumuman beasiwa S2, ana ingin kembali ke kampung halaman.”
“Afwan ukh, jadi anti akan melanjutkan S2? Dimana?” tanya akh Izzan yang sejak tadi bermain dengan si kecil Alifha.
“Ia Akh, In syaa Allah ana mengambil S2 di Tokyo.”
“Masyaa Allah. Apa tidak sebaiknya anti menikah terlebih dahulu. Setidaknya ada mahram yang akan menemani anti disana?”
“Hem in syaa Allah akh, ana masih akan melakukan pendidikan di Jogja selama 1 tahun. Alhamdulillah di sana ada bukde ana. Masalah menikah, In Syaa Allah, Allah sudah menetapkan yang terbaik buat ana. Minta do’anya.”
Dan senja ini, aku pun akan meninggalkan wisma yang penuh dengan kenangan ini. Wisma yang menyimpan sejuta kisah dan beribu tangis di dalamnya. Wisma yang akan selalu terawat oleh para penerusnya. Aku mencintai kota ini, kota yang menyimpan kisah cintaku. Menyimpannya begitu dalam hingga tak sempat ku suakan. Aku masih termanggu di sofa ruang tamu, saat intu wisma di ketuk seseorang. 
“tok tok tok ! Assalamu’alaikum...” sebuah suara yang begitu ku kenal. Segera saja ku buka pintu wisma ini lebar – lebar. “waalaikumussalam warrahmatullah... masya Allah ukhti..” segera ku peluk saudariku, Dewi.
“Anti jadi berangkat sekarang?” tanya akh izzan. Ya hari ini, mereka berjanji akan menghantar ku ke bandara juanda.
“Ia ana sudah siap.”
40 menit perjalan, kami sampai di bandara juanda. 
“ukhti, jika nanti disana anti menemukan ikhwan yang siap menuntun anti ke surga-Nya jangan ragu ya, hubungi ana. In syaa Allah ana pasti datang. Ana uhibbuki fillah ukh.” Gerimis hatiku mendengar pesan Dewi
“ana aidon ukh... jaga malaikat kecil kita ya. Semoga Alifha menjadi muslimah yang soleha meneruskan perjuangan ummi dan abinya. Do’akan ana ukh. Mungkin cinta ana masih ana titipkan di kota tua” balasku berbisik.
“ukhti... anti?” dewi dan izzan sangat terkejut mendengar ucapanku. Semakin deras airmatadewi berderai.
“ukh,.. apapun yang anti pahami tentang ucapan ana. Ana minta, anti takkan memberi tahunya. Termasuk juga antum akh. Apapun yang antum pahami tentang perkataan ana, ana harap jangan di sampaikan padanya.” Aku tak ingin, menyimpan rasa bersalah lebih lama lagi. Aku tak ingin membuat Dewi dan Izzan terus mengikhtiarkanku.
“Masya Allah ukhti.. anti. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk anti ukh. Ana salut padamu ukh, yang menyimpan rasamu begitu rapi.” Lanjut akh izzan, sedang Dewi semangit larut dalam isaknya.
“tapi, tak sebat antum berdua. Yang juga menyimpan rasanya begitu rapi. Ukh kenapa anti menangis?” “astaghfirullah... ukhti.. ana merasa mendzalimi anti saat itu. Pantas saja, anti tiba – tiba menghilang.” Dewi mengenang lagi masa – masa ia ta’aruf dengan Rayhan.
“anti ini, sudahlah ukh. Ana hanya tidak ingin mendzolimi antum berdua. Ana menyerahkan segalanya kepada Allah. Jika dalam perjalanan ana dipertemukan dengan yang terbaik menurut Allah, in syaa Allah ana akan segerakan he.. sudah ya.. ana akan segera delay. Ana uhibbuqi fillaah” aku tak meneteskan airmata, sebab tak ingin Dewi semakin sesak.
“ukhti...” kembali Dewi memelukku. Alifha pun merengek ingin ku gendong. Gerimis hati ini, saat melihat Alifha menangis. Tak mampu ku bendung lagi airmata ku. Aku luluh dalam dekapan Alifha. Segera saja ku gendong si kecil Alifha, ku peluk dan ku kecup keningnya. Sungguh bidadari kecil yang begitu murni. Dan untuk terakhir kalinya ku peluk erat Dewi. “Ukh ana akan sangat merindukanmu.” Segera ku lepaskan rangkulanku, saat suara yang minta diperhatikan itu nyaring dengan kerasnya. “Ana pamit, Assalamu’alaikum.. do’akan ana ya...” pintaku. “waalaikumussalam warrahmatullah...” balas mereka. Baru saja lima langkah aku beranjak, tiba – tiba “ukhti... sebentar !” panggil Izzan, melangkah mengejarku dan di ikuti Dewi. “Ukh.. entahlah apakah ini tepat. Tapi ana rasa sekaranglah waktunya.” Ucap akh izzan penuh teka teki, seraya mengeluarkan secarik amplop berwarna coklat. “ana tak tahu surat apa ini, yang jelas si pengirim meminta ana menyerahkan surat ini, saat sekiranya ana tidak bertemu anti lagi. Dan sekarang ana belum tahu apakah anti akan kembali ke kota ini. Atau anti akan menetap di Lombok, atau bahkan anti akan langsung ke Jogja. Atau malah langsung terbang ke Tokyo. Atau Justru ana yang akan meninggalkan kota ini, kembali ke kampung halaman kami. Entahlah. Wallahu Alam. Dan ana tidak ingin amanah ini, ana bawa tanpa bisa ana sampaikan.” Jelasnya panjang lebar. Aku terkejut, dewi pun begitu. “siapa yang memberikannya?” tanya ku, hatiku bergetar. Jantungku berdetak kencang, nafasku mengalir tak beraturan. “saat acara pernikahan kami, beliau menitipkan surat itu. Ya cukup lama memang. Semoga isi surat itu, dapat memberi kejelasan atasmu.” Perkataan terakhir, sebelum satpam juanda memanggilku untuk segera. “baiklah, jazakallahu... Assalamu’alaikum,..” “wa’alaikumussalam...”
Ah... ku titipkan Cintaku di Bumi Mesir 
*bersambung

Senin, 14 Maret 2016

FIKSI : Kamu, bantu aku tuk akhiri.

hay,..
untuk pertama kalinya aku ingin segera menuntaskan sebuah perjalanan yang bahkan tak seberapa jauh ku mulai,.
hahaha entahlah 
ku rasakan bukan aku di posisi ini,.
tak ada lagi batasan yang bisa membatasi segala rasa..
duh... segalanya seolah membias,. memberi kebebasan yang justru mngeratkan ikatan ruang gerak ku,.

tak ada lagi tirai yang membatasi tatapan kita, tak ada lagi sekat yang memberi ruang gerak lebih luas,. tak ada lagi kamu yang kaku dan angkuh dalam diammu,. tak ada lagi aku yang bisa menuangkan segalanya dalam secangkir gelas yang meski berulang kali pecah namun tetap mampu kembali utuh,. yang ada sekarang hanyalah sebuah ruang yang memberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk kita saling menatap,. duh tingkah apa yang kita lakukan,. tak kah kau ingat segala upaya kita selama ini??
sekarang yang ada hanyalah ruang tanpa sekat,. kita tertawa kita bicara kita menuangkan seteguk air... namun sadarkah,. kita tertawa dalam perihnya hati yang tak memberi kenyamanan,. kita bicara dalam kebisuan nurani yang mulai lunglai,. dan bodohnya kita,. kita tuangkan air dalam gelas yang hancur lebur tanpa wujud lagi,.
hai,.. tak sadarkah kita???
kau mulai leluasa mengusik hati,. bukan karena sesuatu yang membuat kita nyaman..
justru usikanmu menyiksa,, teramat menyiksa malah,.
candaamu tak lucu,.. sama sekali tak lucu,. terkesan konyol malah,.
sudahlah,. kita jangan terus tertipu dalam upaya penenangan hati yang memang takkan menemukan ketenangan jika selalu dalam posisi ini,.. 
ayolah kita putuskan saja,. siapa yang harus mengakhiri segalanya,. aku atau kamu,.
atau kita yang membuat kesepakatan tuk mengakhiri hal yang bahkan tak pernah kita mulai,. jangan siksa dirimu dan jangan pula kau seret aku dalam penyiksaan ini,. haha
apa ini,. konyol!! sudahlah harus berapa lama lagi ku caci diri ini, yang tak mampu bertahan dalam idealis yang selama ini ku upayakan,..
kau ini,.. sudah ku katakan jangan selalu memancing,. jangan selalu mengejar arah pandang ku,. ayolah,.. 
kamu,. semestinya bisa membantuku tuk mengusaikan segalanya,. atau aku yang harus mengalah dan berlalu,..

Sabtu, 05 Maret 2016

hay... sepenggal kata di akhir KARIASMA

Bismillahirrahmanirrahiim
ingat waktu ospek "KARISMA 2013" kalau tidak salah pada saat materi Leadership dan managemen organisasi, yang pasti pematerinya Kak Soni Ariawan. menyampaikan tentang sebuah ideologi baru _baru untuk seorang siswa yang terbiasa dengan idealisme damai_ setelah materi _yang saat ini mulai terpahamkan "luar biasa"_
polos banget pertanyaan itu muncul, memotong materinya di tengah sesi diskusi lalu dengan lugu melontarkan sebuah kalimat "kenapa selama ini mahasiswa identik dengan demostrasi, memangnya tidak ada jalan lain selain demo? apa tidak ada alasan penyelesaian sebuah masalah dengan diskusi, apakah mahasiswa hanya membesarkan dirinya dengan sebuah demo?"
_____
hening sih, beberapa tatapan langsung tertuju ke arah sumber suara, tak terkecuali korlap.
hhhh
"terserahlah yang penting aspirasi kekanak-kanakan saat itu terlontarkan!!!"
dan dengan tenang jawaban beliau mengalir "mahasiswa adalah agent of change dan agent of control, jadi bagi kami dan kalian yang peduli dengan sesama mahasiswa tidak akan menutup mata dengan sebuah pergerakan. dan pada waktunya kita akan sama-sama memahaminya!" _kurang lebih begitulah inti dari jawaban beliau_
DAN siapa sangka KITA yang dulunya begitu mendambakan sebuah perubahan dengan hanya "Berpangku Tangan dan Mengharapkan Perubahan tanpa BERGERAK" justru TERSESAT di dalamnya,. bukan untuk terus TERSESAT memang! namun untuk membukakan jalan agar Penerusnya tak selalu TERSESAT dan TAK TAHU JALAN PULANG!!!
LELAH????
Jangan ditanya kawan.. hanya saja kadang LELAH itu harus kita Rasakan untuk Dapat menikmati INDAHNYA PERJUANGAN,.
‪#‎KEEP_ISTIQAMAH‬
Tak Selamanya politik itu
"Diibaratkan BAMBU, yang Jika LURUS ia Di TEBANG dan Jika BENGKOK ia Di BIARKAN"

Rabu, 29 April 2015

Fiksi :/ tak pernah tertuntaskan

keheningan yang terasa menguasai jiwa dalam lelapnya dibatas waktu. mulai terasing bahkan begitu asing, tak lagi ada sua ataupun sapamu dalam keasingan. duh perjalanan ini, seolah kian memutarkan roda-roda kehidupan yang kian asing, kian pilu dalam kerinduannya. ya rindu dalam keheninganya.

bukan salahmu memang, hanya saja aku yang belum mampu menepiskan kerinduan ini, rindu akan suamu, rindu akan lantunan ayat-ayat suci al-qur'an yang senantiasa menghiasi setiap sua mu. ya perjalanan yang seolah tak ada tepinya. tak hanya hari atau bulan bahkan bertahun sudah tak ku dengar suamu. namun kini saat kau kembali, kembali dengan sebuah sua yang dulu sempat dirindu. nyatanya ketika kehadirannya kembali, bukan justru membuat rindu itu menghilang namun kian merasa...