Selasa, 10 Mei 2016

"Ku titipkan cinta ku dibumi mesir "


Senja berdebu... membiaskan cahaya yang mulai meredup...
Entahlah aku masih tak mengerti debu yang mana yang ku maksud, sedang gerimis tebal baru saja menyapu semua debu yang bertebaran di jalan ini.. duh jalan panjang yang dulu pernah mengurai langkah tak berkesudahan.. jalan yang selalu melahirkan setiap adegan yang kian waktu tak jua membias justru kian mengeras dan kian solid dalam ikatan partikel di jiwa ku. Apa lagi ini, tak jua puas kau hadirkan luka berkepanjangan di jiwa.. duhai Dinda... takkah letih jiwamu, selalu menghadirkannya di setiap roda kehidupan yang akan selalu bergulir.. sadarlah ia tak peduli dengan hati mu. Dengan rasamu,!!! Tidak.. tidak... mungkin bukan karena ia tak perduli.. namun karena kau yang terlalu hebat menyimpan rasamu... duh andai saja kau tak sebodoh itu, mungkin saat ini jiwamu takkan sesakit ini. Meratapi sepinya hati yang masih saja bertahan dengan kisah yang telah lalu. Kisah yang bahkan tak pernah sempat kau mulai,.
Tak ingatkah kau, pagi menjelang siang di tepian danau –akh sebut saja kolam ikan di balik mushola itu sebagai danau— itu.. diantara rerumputan mawar tak berkumbang “Andai saja kau halal bagiku, takkan ku biarkan airmatamu jatuh ketanah” dan ingatkah kau,.. apa jeritan hatimu saat itu.. “maka halalkan aku akhi...” hahah apa ini.. kau masih saja bergulat dengan dalamnya kenang tentangnya.
Tak sadarkah kau, tak berbatas bulan bahkan telah bertahun lamanya. Tapi lihatlah dirimu... kau masih saja gemar dengan anganmu.. angan yang membuatmu belum mampu menatap langit biru. 
Entahlah aku pun tak mengerti apa yang ku nantikan. Aku sadar, teramat sadar malah. Ia memang tak tahu bahkan takkan pernah tahu – mungkin – bahwa ada jiwa yang masih merindu hadirnya, aku pun sadar rasa ini salah. “mintalah fatwa pada hatimu, jika ia tenang dengan tingkahmu. Sejatinya itu adalah kebaikan. Tapi, jika engkau tak ingin ada yang tahu dan gelisah jika ada yang tahu, maka sejatinya itu adalah dosa.” Duhai hati, dosakah aku dengan rasa ini? Ya ku rasa ini memang dosa, sebab aku menaruh hati pada yang tak berhak, sebab aku menyimpan cinta pada yang bukan semestinya ku cinta, sebab aku menjaga rasa yang bahkan semestinya telah lama ku luluh lantahkan. Ah bodohnya aku, yang masih saja terbalut rindu yang tak jua ku sudahi.
Padahal sangat ku pahami, ia tak pernah anggap ku ada. Ia masih teramat sibuk dengan rutinitasnya sebagai seoarang master. Ia masih terlampau sibuk sekedar memikirkan aku. Yang hanya anak kecil saat itu, ah siapa diri ini? Aku hanyalah sosok yang dulu ia sapa dengan panggilan – sayang menurut tafsiranku. Padahal itu adalah namaku – DINDA . aku kadang lupa jika Dinda adalah namaku,. Ya, Kamu Ray... hanya kamu yang mampu membuatku hilang ingatan akan namaku. Konyol. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku kembali mencerca hatiku yang tak jua mampu menghapus banyang dirimu.
Sudahlah, aku sudah terlalu berlama – lama melintasi jalan ini. 
Lihatlah kayu coklat diantara dinding rumah itu, ia tampak usang ditinggalkan penghuninya. Benar, wisma yang dulu menyimpan sejuta cerita kini satu persatu ditinggalkan penghuninya. Hari ini, tepat satu tahun delapan bulan sahabat sekaligus saudari terbaikku beranjak melewati kayu coklat itu. Ia, Dewi memang berbaik hati masih mau menemaniku di wisma ini, bahkan setelah ia di pinang kekasih hatinya – Muhammad Khairul Izzan – Dewi, masih bersikeras melanjutkan studinya di sini. Tapi, apa daya ku saat aku berhasil ‘mengusir’ sahabat terbaikku tuk menemani kekasih hatinya. Aku tau, setiap malam dan paginya ia menyimpan rindu teramat pada sang pujaan hati. Dan begitu ku dapat alasan yang tepat, segera saja ku ‘asingkan’ ia pada cintanya. Aku masih ingat, ia menangis dalam rangkulanku begitupun aku. Tapi akupun ingat betapa ia bahagia saat ia dapat mengabdi dengan seutuhnya pada imamnya. Dewi masih rutin mendatangiku, bahkan tak sekali dua kali ia mengajakku makan siang atau sekedar makan malam bersama di istana kecilnya.
Aku masih ingat, bagaimana Dewi dan Akh Izzan mencoba mengenalkan beberapa ikhwan padaku. Ikhwan – ikhwan baik, yang tak jarang pula aku cukup mengenalnya. Tapi entahlah, aku masih memautkan hatiku padanya. Seperti senja itu, dewi tampak kesal oleh ulah ku. 
“Ukhti, anti mau nunggu yang kaya gimana ukh?... si Fulan kuarang apa? Beliau sungguh – sungguh ingin menghitbah anti. Kemarin saat kak izan mengenalkan akh Ferdi, anti bilang ingin menyelesaikan study. Sekarang kita sudag satu bulan di wisuda, bahkan anti berhasil keluar dengan predikat cum loude. Ayolah ukh...?”
Mendengar ucapan Dewi, aku hanya mampu tersenyum. Ya senyuman penuh makna. Andai saja engkau tau ukh, ikhwan yang ku nanti adalah ikhwan yang rela bersusah payah terbang dari nengeri berpasir itu, hanya untuk memenuhi janjinya padamu. Hadir dan menjadi saksi dalam pernikahan mu. Saat itu, aku sempat cemburu. Sebelum akhirnya aku tahu, bahwa akh Izzan adalah sepupu dekatnya. Aku bahagia, karena aku masih sempat berjumpa dengannya. Meski saat itu, tak sempat ada sua diantara kami. Ia hanya tersenyum saat melihatku sekilas. Sama sekali tak ada sapa, bahkan salam pun seolah enggan ia tebar padaku. Aku sedih ukh, teramat sedih saat itu. Setelah 6 bulan lebih tak ku tau kabarnya. Saat, Allah mempertemukan kita kembalinya nyatanya ia enggan menyapaku. Ya Allah,, harusnya Hamba sadar bahwa ia tak pernah melihatku. Tapi, lihatlah aku ukh. Bahkan setelah ia teramat acuh padaku, aku masih menata hati tuk menempatkannya dalam sudut hatiku.
Ia menyapa semua ikhwah KEI tak terkecuali akhwat terlebih ikhwan. Tapi, lihatlah.. jangankan menyapaku. Bahkan, ia seolah menghindariku. Aku merasa terasingkan hadir diantara KEI saat ia kembali. Sama sekali tak ada sapa darinya. Duh... bahkan air bening sempat menetes di pipi ku. Aku teramat ingin menyapanya, tapi lagi – lagi lisanku kelu.
“Ukhti...” Dewi mulai tak sabaran, di goncangnya bahuku. Tak keras tapi cukup membuatku terkejut.
“ia ukh, kenapa? --- Ana masih belum tau ukh, fulan baik sangat baik malah, akh Ferdi pun baik. Tapi ana belum mendapat kemantapan hati ukh.”
“anti akan menetap disini?” 
“nggaklah, satu atau dua bulan lagi in syaaa Allah ana kan kembali ke lombok. Ya sembari menunggu pengumuman beasiwa S2, ana ingin kembali ke kampung halaman.”
“Afwan ukh, jadi anti akan melanjutkan S2? Dimana?” tanya akh Izzan yang sejak tadi bermain dengan si kecil Alifha.
“Ia Akh, In syaa Allah ana mengambil S2 di Tokyo.”
“Masyaa Allah. Apa tidak sebaiknya anti menikah terlebih dahulu. Setidaknya ada mahram yang akan menemani anti disana?”
“Hem in syaa Allah akh, ana masih akan melakukan pendidikan di Jogja selama 1 tahun. Alhamdulillah di sana ada bukde ana. Masalah menikah, In Syaa Allah, Allah sudah menetapkan yang terbaik buat ana. Minta do’anya.”
Dan senja ini, aku pun akan meninggalkan wisma yang penuh dengan kenangan ini. Wisma yang menyimpan sejuta kisah dan beribu tangis di dalamnya. Wisma yang akan selalu terawat oleh para penerusnya. Aku mencintai kota ini, kota yang menyimpan kisah cintaku. Menyimpannya begitu dalam hingga tak sempat ku suakan. Aku masih termanggu di sofa ruang tamu, saat intu wisma di ketuk seseorang. 
“tok tok tok ! Assalamu’alaikum...” sebuah suara yang begitu ku kenal. Segera saja ku buka pintu wisma ini lebar – lebar. “waalaikumussalam warrahmatullah... masya Allah ukhti..” segera ku peluk saudariku, Dewi.
“Anti jadi berangkat sekarang?” tanya akh izzan. Ya hari ini, mereka berjanji akan menghantar ku ke bandara juanda.
“Ia ana sudah siap.”
40 menit perjalan, kami sampai di bandara juanda. 
“ukhti, jika nanti disana anti menemukan ikhwan yang siap menuntun anti ke surga-Nya jangan ragu ya, hubungi ana. In syaa Allah ana pasti datang. Ana uhibbuki fillah ukh.” Gerimis hatiku mendengar pesan Dewi
“ana aidon ukh... jaga malaikat kecil kita ya. Semoga Alifha menjadi muslimah yang soleha meneruskan perjuangan ummi dan abinya. Do’akan ana ukh. Mungkin cinta ana masih ana titipkan di kota tua” balasku berbisik.
“ukhti... anti?” dewi dan izzan sangat terkejut mendengar ucapanku. Semakin deras airmatadewi berderai.
“ukh,.. apapun yang anti pahami tentang ucapan ana. Ana minta, anti takkan memberi tahunya. Termasuk juga antum akh. Apapun yang antum pahami tentang perkataan ana, ana harap jangan di sampaikan padanya.” Aku tak ingin, menyimpan rasa bersalah lebih lama lagi. Aku tak ingin membuat Dewi dan Izzan terus mengikhtiarkanku.
“Masya Allah ukhti.. anti. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk anti ukh. Ana salut padamu ukh, yang menyimpan rasamu begitu rapi.” Lanjut akh izzan, sedang Dewi semangit larut dalam isaknya.
“tapi, tak sebat antum berdua. Yang juga menyimpan rasanya begitu rapi. Ukh kenapa anti menangis?” “astaghfirullah... ukhti.. ana merasa mendzalimi anti saat itu. Pantas saja, anti tiba – tiba menghilang.” Dewi mengenang lagi masa – masa ia ta’aruf dengan Rayhan.
“anti ini, sudahlah ukh. Ana hanya tidak ingin mendzolimi antum berdua. Ana menyerahkan segalanya kepada Allah. Jika dalam perjalanan ana dipertemukan dengan yang terbaik menurut Allah, in syaa Allah ana akan segerakan he.. sudah ya.. ana akan segera delay. Ana uhibbuqi fillaah” aku tak meneteskan airmata, sebab tak ingin Dewi semakin sesak.
“ukhti...” kembali Dewi memelukku. Alifha pun merengek ingin ku gendong. Gerimis hati ini, saat melihat Alifha menangis. Tak mampu ku bendung lagi airmata ku. Aku luluh dalam dekapan Alifha. Segera saja ku gendong si kecil Alifha, ku peluk dan ku kecup keningnya. Sungguh bidadari kecil yang begitu murni. Dan untuk terakhir kalinya ku peluk erat Dewi. “Ukh ana akan sangat merindukanmu.” Segera ku lepaskan rangkulanku, saat suara yang minta diperhatikan itu nyaring dengan kerasnya. “Ana pamit, Assalamu’alaikum.. do’akan ana ya...” pintaku. “waalaikumussalam warrahmatullah...” balas mereka. Baru saja lima langkah aku beranjak, tiba – tiba “ukhti... sebentar !” panggil Izzan, melangkah mengejarku dan di ikuti Dewi. “Ukh.. entahlah apakah ini tepat. Tapi ana rasa sekaranglah waktunya.” Ucap akh izzan penuh teka teki, seraya mengeluarkan secarik amplop berwarna coklat. “ana tak tahu surat apa ini, yang jelas si pengirim meminta ana menyerahkan surat ini, saat sekiranya ana tidak bertemu anti lagi. Dan sekarang ana belum tahu apakah anti akan kembali ke kota ini. Atau anti akan menetap di Lombok, atau bahkan anti akan langsung ke Jogja. Atau malah langsung terbang ke Tokyo. Atau Justru ana yang akan meninggalkan kota ini, kembali ke kampung halaman kami. Entahlah. Wallahu Alam. Dan ana tidak ingin amanah ini, ana bawa tanpa bisa ana sampaikan.” Jelasnya panjang lebar. Aku terkejut, dewi pun begitu. “siapa yang memberikannya?” tanya ku, hatiku bergetar. Jantungku berdetak kencang, nafasku mengalir tak beraturan. “saat acara pernikahan kami, beliau menitipkan surat itu. Ya cukup lama memang. Semoga isi surat itu, dapat memberi kejelasan atasmu.” Perkataan terakhir, sebelum satpam juanda memanggilku untuk segera. “baiklah, jazakallahu... Assalamu’alaikum,..” “wa’alaikumussalam...”
Ah... ku titipkan Cintaku di Bumi Mesir 
*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar