Aku
cinta budaya ku, tapi aku lebih cinta agama yang ada padamu.
Ah
kurasa, ungkapan itu cukup mewakili setiap jejak yang membias dalam
perjalananmu. Bukan sekedar ironi jiwa si pemuda atau jerit kerisauan si gadis.
Indonesia, sebuah negeri yang bagi dunia letaknya tak terjangkau. Bukan karena
indonesia tak tersentuh dalam peta dunia atau globe yang katanya berbentuk
bola, kenapa katanya?! Sebab aku lebih sepakat jika dunia di simbolkan sebagai
sebuah hamparan. Ya... hamparan kasih Illahi, hamparan harapan setiap anak
manusia, hamparan cinta Pencipta yang tak berbatas lengkungan atau pun tebing
curam. Aku lebih suka mengatakan dunia adalah hamparan... hamparan kasih yang
tiada batasnya.
Indonesia...
adalah negeri yang penuh dengan anugrah Tuhan, jejeran pulau yang membentang
dari sabang hingga marauke nyatanya menelisik setiap jiwa yang menjejakkan kaki
di belahan bumi-Nya. Surga yang terasingkan, dengan kekayaan yang tak berbatas,
hanya saja si ‘rakus’ nampaknya masih asik memonopoli kekayaan Alam rakyatnya.
Aku, akan lebih suka jika yang menikmati adalah putra kandung Indonesia, tapi
lihatlah, dengarlah tangis anak negeri yang setiap aliran nafasnya di renggut
si penjajah. Saat anak negeri, terasingkan dan kembali terjajah bersamaan
dengan kemerdekaan yang telah diperjuangkan pahlawannya, saat sang saka
berkibar di seluruh tiang tertinggi negerinya. Nyatanya, si pemuda dan si gadis
masih terkungkung dalam Kerasnya Asing yang berkuasa.
Sudahlah,
aku sedang tak ingin mengurai rintih jiwaku diatas keyboard tua yang hampir
punah. Menghabiskan tintaku, mengurai setiap kata diatas selembar kertas yang
kian usang. Saat pena diangkat dan tulisan kian mengering maka sejarah telah
tertoreh dengan nyata disetiap jejak anak manusia.
Lihatlah
mentari yang memantulkan cahaya di ujung barat, menyebar dan memantulkan
cahayanya secara lokal. Bias!. Bayang jingganya perlahan tenggelam di garis
pantai, tampak begitu dekat bukan? Menjingga, perlahan menggelap lalu
menghilang. Simbol dunia yang kian tua, simbol keangkuhan jaman yang mulai
menelisik menjauh dari norma dan moral anak negeri yang kental dengan budaya
ketimuran, budaya yang menjunjung tinggi moral dan keselarasan dengan agama
yang di yakini.
Apa
lagi ini?! Aku masih saja menjejalkan kaki diatas pasir pantai, menikmati
hempasan ombak yang menebarkan aroma basah khas samudra. Bulirnya lembut
menerpa wajahku. Memantulkan pesona
nusantara yang tak pernah habis dari perbincangan, nusantara yang penuh dengan
adat tradisi dan kebudayaan yang masih sangat kental.
Ini
tentang perjalanan anak manusia, yang kadang terasingkan dalam dilema
sanubarinya sendiri. Di sudut kota tanpa lampu, anak pesisir di pulau terpencil
dari sekian ribu pulau kecil lainnya. Ah salam rindu dari sebuah pulau cinta,
Pulau Lombok yang mungkin masih dipertanyakan keberadaannya. Seperti waktu itu,
saat kaki ini melangkah pertama kali di tanah Kembang.
“NTB
itu dimana?”
Pertanyaan
itu sontak membuat gejolak dada kian lebih cepat, bayangkan saja jangankan
Lombok, NTB pun tak terbayangkan dalam benak mereka.
“Lombok
itu di NTB.” Jawabku sekenanya, ku pikir itu hanya gurauan rekan ku dalam
pertemuan nasional.
“Loh...
lombok dan NTB itu satu?!” tanya mbak Nina mahasiswi Unila.
“Aku
kira Lombok, ya Lombok. NTB ya NTB, Mataram ya Mataram?!” imbuh yang lainnya.
“Wah,
aku kira mbak becanda gak tau lombok. Jadi NTB itu merupakan sebuah provinsi
yang terdiri atas beberapa pulau. Dengan dua buah pulau induk, yaitu pulau
Sumbawa dan pulau Lombok. Sumbawa pun, ada bagiannya lagi. Begitu juga di
Lombok. Kalau Mataram itu ibaratnya ibu kota Lombok. Di lombok sendiri ada
pulau kecil yang dikenal dengan sebutan gili.” jelasku, rasanya ingin sekali
memaparkan Lombok sebagai pulau kecil yang indah.
“Nah,
kalau gili trawangan aku tau!” seru Azalia yang saat itu baru bergabung bersama
kami.
Yang
benar saja, Lombok tak masuk kedalam ingatan meraka, tapi justru Gili “Tralala-Tralili” begitu mereka ingat.
Tralala-Tralili itu pun nama yang di berikan kawan Ikahimatika Indonesia saat
berkunjung beberapa tahun yang lalu, kata mereka sih nama itu cocok untuk pulau
kecil di Lombok yang menawarkan pesonanya. Jika Pulaunya saja tak masuk daftar,
bagaimana budaya yang ada di dalamnya.?! Baru saja ingin ku lanjutlan ceritaku
tentang si Kecil yang menjadi Pulau Serambi Madinah, tiba-tiba pengeras suara
di gedung Keong Telkom University Bandung membuyarkan obrolan kami saat itu. ****
Pertemuan
hari itu, menjadi sebuah cambuk bagiku. Ya setidaknya 4 hari aku disini, bisa
membuat mereka sedikit lebih mengenal Lombok. Belum sempat aku, sampaikan mbak
Azalia mahasiswi UNS menyentuh bahuku. “mbak
puji, ntar ceritain ya Lombok itu kaya gimana?” pintanya. “Ok! Mbak.”
Senja
mulai beranjak, menepi pada peraduannya. Pertemuan pagi hingga sore hari ini
disudahi, gema takbir mulai menghiasi seantero kota Kembang. Jangan heran,
Ramadhan baru saja bersemi. Saat perjalanan kembali ke asrama tempat kami
menginap, “Mbak, kita ngabuburit yuk.
Sekalian mbak ceritain lagi Lombok kaya gimana?” Mbak Nina mengajak kami keluar
Kampus untuk mencari jajanan di depan kampus Telkom. “Ya udah ayok.” Jawabku,
dan di sambut anggukan mahasiswi lainnya. Dan kami berbalik haluan.
Benar
saja, dari balik pintu gerbang kampus sudah berjejer pedagang yang menjajakan
jajanan khas buka puasa. Kami memilih minum es podeng khas Bandung.
“Lombok
itu, terkenal dengan Rinjani dan Pantainya mbak. Kalau ke lombok belum pernah ngerasain ombak pantainya mah belum
afdhol. Yang aneh, kok bisa Lombok belum di kenal di FP (Forum Prempuan) BEM SI padahal beberapa bulan kemarin kita kan
RAKERNAS BEM SI di sana.” Aku memulai perbincangan.
“Ia
mbak, nyesel juga gak ikut kesana. Tapi, aku masih penasaran lo mbak dengan budaya disana. Pernah
dapat cerita, katanya di sana afwan
pakaian ADK khususnya akhwatnya khas
banget ya?! Cenderung mengadopsi tradisi arab. Maksudku, kita berpakaian syar’i
tapi ada juga akhwat yang berpakaian
seperti kebanyakan orang arab?” tanya salah seorang aktivis.
“Hem...
bagi kami, mahasiswi yang aktif di ADK/LDK khususnya di NTB sangat tidak
sepakat jika kami berhijab di anggap mengikuti budaya arab. Aku yakin, mbak dan
teman-teman lainnya sudah sama-sama memahami hakikat dari hijab, jilbab, khimar
bahkan kerudung itu seperti apa. Menutup aurat bagi umat muslimah adalah sebuah
kewajiban, keniscayaan yang harus di taati oleh setiap wanita yang mengaku
beriman. Bukan pekara kita sudah baik, justru karena kita ingin memperbaiki
dirilah hingga kita memutuskan untuk berhijab. Jika menunggu baik, atau seperti
kata sebagian wanita ‘tak penting luarnya, yang penting hatinya’. Lantas siapa
yang menjamin kita akan berada di dunia ini sampai kita ‘baik’, belum lagi
‘baik’ akan bernilai relatif sebab setiap orang punya kriteria yang berbeda
untuk di anggap ‘baik’.” Sejenak ku tarik nafas.
“jika
yang dimaksud mengikuti budaya arab adalah dengan mengenakan cadar atau pakaian
longgar dan khimar yang menjulur lebar menutupi sebagian besar tubuh. Maka
mbak-mbak belum mengenal budaya kami di NTB. Siapa bilang berhijab hanya budaya
Arab?! NTB itu....” perkataan ku terpotong oleh suara adzan yang menggema dari
masjid Syamsul ‘Ulum kampus Telkom.
Allahu Akbaaar.... Allahu
Akbaarr!!!
Allahu Akbaaar.... Allahu
Akbaarr!!!....
Panggilan
Allah telah terdengar, perbincangan senja itu kami hentikan sejenak untuk
memenuhi panggilan Kekasih. Allah!! Mudahkanlah hati mereka menerima kebenaran
perintah-Mu. Bukan, tentang sebuah budaya namun tentang pengabdian diri seorang
muslimah. Tentang bukti cinta, tentang sebuah pemantasan Memandang Wajah-Mu
kelak.
Langkah menuju masjid Raya kampus
begitu ringan, terasa benar nikmatnya berpuasa di tanah yang berbeda, dengan
suasana yang berbeda pula. Setelah berjalan beberapa menit, masyaa Allah masjid
di hadapan ku. Dengan pelataran masjid yang dihiasi lampion berwarna warni yang
membentul tulisan “SYUKRAN” lalu di sisi lain bertengger pula lampion dengan
tulisan “AL-IKHWAN” sebagai tanda dan batas area ikhwan bukan tentang pemboikotan daerah he, ternyata itu tradisi di
sepanjang bulan Ramadhan. Ada area khusus yang tak boleh dilanggar
Ikhwan-Akhwat jama’ah Masjid Syamsul ‘Ulum, hal ini karena mereka akan
melakukan rutinitas Terawih berjama’ah dan demi menjaga ke akhsan an ikhwan-akhwat disepakatilah area khusus bagi keduanya.
Usai menjalankan ibadah shalat
Magrib dan rutinitas lainnya, kami kembali membentuk lingkaran untuk
melanjutkan diskusi tadi yang sempat terhenti.
“jadi,
gimana mbak?” tanya azalia memulai perbincangan.
“sampai
mana tadi?! ... oya, seperti yang tadi siang aku bilang NTB itu gak hanya
Lombok, disana ada juga pulau Sumbawa, dan di Sebrangnya ada Pulau Bima dengan
kota-kota yang ada di dalamnya. Setiap pulau di NTB memiliki budaya dan
tradisinya masing-masing. Bahkan di satu desa dengan desa lainnya memiliki adat
kebiasaan yang berbeda. Salah satu adat yang patut dan harus –menurut saya–
untuk di lestarikan adalah adat Rimpu.
Rimpu sendiri adalah busana wanita Bima yang menggunakan dua lembar (dua
sando’o) sarung untuk bagian atas dan bawah. Sedangkan kaum lelakinya tidak
memakai rimpu, tetapi memakai “katente” yaitu
sarung yang digulung di pinggang. Rimpu sendiri ada dua jenisnya. Yaitu
Rimpu Mpida yang digunakan oleh kaum hawa yang masih gadis atau yang belum
menikah, dan Rimpu Colo yang di pakai para ibu-ibu.” Aku berhenti sejenak untuk
melihat respon mereka. Sejenak mereka terdiam, sesekali mengangguk dan
menampakkan rasa penasarannya.
“Lanjutkan
ukh, hem afwan boleh ana
bergabung?” sebuah suara, tiba-tiba menyapa dari belakang lingkaran kami. Aku
tersenyum saat melihat kearahnya, ternyata mbak Fadqi mahasiswi dari Sebi.
“Tafadholy mbak” jawabku, dan di ikuti
senyum yang lainnya. “Nah, Rimpu Mpida sendiri tata cara penggunaannya sangat
mirip seperti akhwat yang mengenakan
cadar. Para gadis Bima tidak diperkenankan menampakan wajahnya selama belum
menikah. Mereka hanya boleh memperlihatkan wajahnya kepada mahromnya saja dan
para gadis sebayanya di ruangan tertutup yang tidak dilalui lelaki. Rimpu Mpida
atau dikenal juga dengan istilah Rimpu cilik
digunakan oleh para gadis saat akan keluar dari rumah, jika mereka keluar rumah
tanpa menggunakan Rimpu Mpida dan memamerkan aurat maka mereka akan dikenakan
sanksi. Hal ini, karena mereka ddianggap telah melanggar hukum moral, hukum
keagamaan dan adat istiadat. Tapi, bukan berarti wanita Mbojo (istilah untuk wanita Bima) merasa terkekang dengan peraturan
budaya ini, mereka justru mengingat dan tetap menjunjung tinggi budaya tersebut
karena mereka sadar bahwa hal ini akan mengokohkan keyakinan mereka dan
kepercayaan merea terhadap perintah-perintah yang ada di dalam Agama dan
Kepercayaan mereka. Hal ini berlaku tidak hanya untuk para gadis, hal yang sama
pun di patuhi oleh para ibu-ibu mbojo. Mereka sangat menjunjung tinggi budaya
dan tradisi muslimah di Mbojo. Tapi, lihatlah setelah era modernisasi masuk dan
merusak moral anak bangsa dengan berbagai mode dan trend yang meruntuhkan moral
dan budaya ketimuran khas Indonesia. Memonopoli adat tradisi, dan mensuntikkan
budaya khas kebarat-baratan. Berbagai macam media mereka luncurkan. Mulai dari
koran, majalah, radio, lalu berkembang ke media Visual lainnya Televisi, bahkan
Internet merambah berbagai sendi kehidupan. Budaya Timur bangsa Indonesia
perlahan namun pasti mulai bergeser, digantikan dengan budaya Barat, yang afwan harus ana katakan jauh dari ‘moral dan kebiasaan bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan malu’. Budaya Asing mulai
menggerogoti anak bangsa, mendoktrinkan bahwa budaya menutup aurat menjalankan
perinta agama adalah budaya Arab, dan mereka mengasumsikan bahwa budaya yang
mereka bawa adalah budaya nusantara. Astaga, apakah mereka sehat?! Atau mungkin
kita yang kurang sehat, hingga menelan mentah-mentah setiap doktrin yang mereka
berikan. Pantas saja, mereka semakin girang memainkan peran di tanah air. Meraup
sebanyak-banyaknya kekayaan alam yang ada di dalamnya. Tidak hanya kekayaan
alam kita yang dirampok, nyatanya perjalanan ‘sejarah’ anak bangsa pun perlahan
mereka ingin musnahkan. Membuat setiap orang bersitegang membantah budaya dan
tradisi nusantara.” Jelasku panjang lebar, ingin rasanya meremas setiap budaya
yang mereka tebar di tanah airku.
“Astaghfirullah,..
ternyata seperti itu budaya di NTB. Subhanallah... benar, kadang kita di buat
tak sadar dengan virus yang di tebar asing.” Timpal mbak Nina.
“Ia
mbak, kita sadar atau tidak itu semua karena permainan mereka yang terlampau
rapi. Menguasai ranah industri, menayangkan segala sesuatu yang menguntungkan
bagi mereka. Alhasil pemuda-pemudi desa yang awam dengan hal-hal berbau
teknologi menelan mentah-mentah setiap tayangan yang di sajikan. Dan... sudah
bisa kita baca hasilnya seperti apa. Putra-putri Indonesia mulai menjauh dari
tradisi dan norma yang berlaku di Indonesia, mulai tertarik menggunakan mode
dan trend baru yang di tayangkan. Menganggap adat dan budaya sebagai sesuatu
yang Kolot, ketinggalan jaman,
kampungan dan lain sebagainya. Padahal, mereka tidak sadar bahwa mereka telah
di gerogoti dari berbagai arah. Mereka di racuni fikirannya, dirusak tatanan
nilai dan moralnya, keragaman dan kebanggaan terhadap agama dan keyakinannya
perlahan dikoyak hingga tak bersisa. Lalu pergaulan bebas sebebas-bebasnya
menjadi surga kedua bagi mereka yang mengikuti arus perkembangan jaman. Membuat
mereka lalai dalam kenikmatan semu. Astaghfirullah... bukankah mereka adalah
orang-orang yang merugi?!”
“bener
mbak, saya sepakat.” Timpal mbak Azalia. “jadi penasaran seperti apa model
pakaian Rimpu itu?”
“Kebetulan
saya punya fotonya, sebentar.” Ku keluarkan Handphoneku dari dalam saku
almamater ku tercinta, lalu menunjukan beberapa foto Rimpu Mpida dan Rimpu
Colo.
“wah,
sayang sekali kalau budaya sebagus ini harus pudar ditengah masyarakat.” Keluh
mbak Nina.
“itulah
mbak, saat ini Rimpu hanya digunakan oleh gadis-gadis desa di pedalaman Bima
dan sesekali di kenakan oleh gadis modern saat melangsungkan even di kota.
Festival adat dan lain sebagainya, sedangkan dalam keseharian kebanyakan dari
mereka mengadopsi budaya barat.” Jawabku.
“sayang
sekali mbak, benar-benar patut disayangkan. Budaya ini harus dilestarikan.
Sangat penting bagi masyarakat terutama kaum hawa untuk melindungi mereka dan
agar lebih mudah dikenali.” Timpal mbak Fadqi.
Allahu Akbaar... Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbaar... Allahu
Akbar...!!!.....
Adzan kembali berkumandang.
Alhamdulillah tepat disaat aku selesai membagi budaya dari ujung Nusantara.
Sebuah budaya yang hanya menjadi sejarah manis, sejarah yang bahkan terasingkan
dan tak semua orang tahu akan sejarahnya. Sejarah yang hanya akan menjadi
sejarah jika tak ada yang menceritakannya kembali. Sejarah perjalanan anak
manusia yang pernah begitu dekat dengan moral dan nilai keluhuran, begitu
kental dengan pondasi agama dan kokoh dalam ketaatan kepada Tuhannya, Allah
Azza wa Jalla.
Hari ini, akan menjadi saksi
peraduan rindu seorang kekasih yang terlanjur jatuh cinta pada sejarah yang
pernah ada. Sejarah yang pernah begitu gemilang di era 19. Ah sejarah yang
takkan pernah lekang dari hati para Pecinta yang hadir cinta hanya karena-NYA.
Lalu masih kau pertanyakan cinta ku pada budaya nusantara? Budaya yang mana?
Budaya yang murni terlahir dari para anak negeri atau kah budaya yang lahirnya
dari antah berantah negeri yang mana?! Aku masih mengasingkan diri, budaya mana
yang semestinya kuturuti? Budaya yang mengagungkan kebebasan? Mengatas namakan
kesenangan dunia? Trend? Mode? Penampakkan lekuk tubuh tanpa malu yang
semestinya menjadi ciri khas wanita nusantara. Tentang malu ini, ku rasa tak
lagi bicara keranah satu agama. Bukankah setiap fitrah wanita nusantara adalah
malu? Lalu mengapa tak kau kenakan pakaian malu mu saat mengadopsi budaya barat
yang tak mengenal malu?
Ya Rabb... ampuni kami, yang
terlampau asik bermain dengan berbagai gaya dan ragam mode. Hingga kadang kami
lalai dari setiap aturan yang ada.
Malam
ini, telah di usaikan sepotong kisah. Sebait cerita. Tentang kegusaran anak
dari ujung senja. Ya, selalu ada senja disetiap rangkaian kataku. Karena aku
terlahir disebuah simpang pesisir pantai, bermain dengan pasir dan gelombang
yang bermandikan cahaya senja. Kadang aku menghabiskan berjam-jam waktuku di
tepian pantai, menikmati hempasan air laut yang menggulung-gulung dengan begitu
lembutnya. Kadang aku pun menikmati, filosofi cinta yang ditebar samudra atas
izin-Nya. Tentang Cinta gelombang yang menghempas tanpa menyakiti karang di
laut. Tentang Rasa yang menjelma kedamaian dalam birunya samudra, tentang hati
yang meluaskan pandang mata. Atau tentang Kamu yang takkan selalu di mengerti
hadirnya. Kadang diam, kadang bising, kadang hadir kadang pun berlalu.
Sudahlah,
aku tak hanya suka senja.
Aku
pun suka dengan pelangi di ujung jingga, pelangi yang terlahir setelah gerimis
basah menerpa wajahku. Lembut mengalunkan rindu yang kadang singgah di simpang
hati. Rindu memandang wajah-MU. Duhai jiwa!!! Dimana raga kau sandarkan?!
Rasakanlah, gerimis yang diterpa
angin pantai lalu jatuh menimpa wajahmu. Menarilah ditengahnya. Sebab takkan
ada yang tau bahwa kau tengah menangis. Menangisi sejarah yang tersimpan dengan
begitu rapi dalam peti kayu yang mulai membeku.
Tapi malam ini, aku tak sedang jatuh cinta pada senja,
jingga atau pun gerimis. Aku tengah jatuh cinta pada langit malam di kota
Kembang. Ah Bandung, kau menjadi bagian cinta dan sejarah baru dalam jejakku.
Aku tengah jatuh cinta. Ya... jatuh cinta pada langit luas yang menghitam di
hiasi berjuta bintang disana. Ambil satu bintang dan rangkailah ia dengan
bintang lainnya. Bisa jadi, kan kau temukan semburat wajah di kolong langit
malam ini. Satu lagi, aku cinta budayaku. Namun, aku lebih cinta pada agama
yang ada padamu.